OMONG BESAR PERTUMBUHAN KREDIT

OMONG BESAR PERTUMBUHAN KREDIT

Menurut kajian Biro Riset Infobank (birI), setidaknya ada tiga tantangan besar yang dihadapi perbankan tahun ini. Satu, jika OJK tidak memperpanjang, maka banyak bank yang kelihatannya sehat NPL-nya akan kembali meningkat. Dalam Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2015, bank-bank yang melakukan restrukturisasi kredit dilonggarkan hanya menghitung satu pilar saja yaitu kemampuan nasabah membayar. Sementara dalam kondisi normal, ada dua pilar lainnya yang dipersyaratkan dalam restrukturisasi kredit yaitu prospek usaha dan kinerja debitur.

Dua, konsolisasi korporasi belum selesai dan NPL masih menjadi beban, terutama di sektor kredit komersial Rp100 miliar hingga Rp200 miliar. Kendati mulai membaik, konsolidasi korporasi yang beberapa tahun terakhir lalu termehek-mehek akibat bencana komoditas batubara dan sawit masih cukup berat. Belum lagi dari sektor multifinance yang tekanannya bisa lebih dirasakan perbankan pada tahun ini karena beberapa bank sudah mulai angkat bendera putih. Risiko sistemik dari sektor multifinance cukup besar, terutama bagi bank bermodal kurang dari Rp5 triliun.

Tiga, kondisi likuiditas yang tidak pasti akibat kebijakan maju mundur tentang keterbukaan data rekening. Pembukaan data kepada direktorat jenderal pajak sampai menyasar ke rekening bernilai Rp100 juta, sebelum direvisi menjadi minimum Rp1 miliar, akan mempengaruhi perilaku para deposan. Di banyak negara yang pemerintahnya mengakses data rekening di bank menetapkan batasan hingga US$250 juta atau sekitar Rp3,3 miliar. Sri Mulyani, Menteri Keuangan, telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Peraturan ini merupakan peraturan peiaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

BirI memperkirakan, bank-bank akan menaikkan suku bunganya untuk mengantisipasi ketidakpastian kondisi likuiditas. Itu berarti, suku bunga kredit pun akan merangkak. Imbasnya, permintaan kredit yang masih lemah pun tidak kuat menyerap kredit baru. Konsekuensinya berdampak ke sektor riil. Selain biaya dana (cost of fund) mahal, investasi baru menjadi kurang menarik apalagi dunia usaha seolah makin dikejar petugas pajak. Pada akhirnya, konsumsi akan kembali melemah. Fenomena crowding out effect bisa terjadi jika kebijakan pemerintah untuk menggenjot pajak untuk mendorong belanja negara yang menstimulasi perekonomian, namun sektor riil kemudian terpukul karena likuiditas mengetat sehingga perekonomian justru mengalami perlambatan.

Lantas bagaimana kinerja perbankan sampai akhir 2017? Menurut riset BirI yang bertajuk “Rating Bank 2017”, ada 23 bank yang laba tahun lalu labanya anjlok dan tahun ini harus berhasil menaikkan labanya. Yang paling sulit adalah 12 bank yang masih mengalami “luka dalam” akibat digerogoti kredit macet. Bagaimana upaya 17 bank dalam mengatasi NPL yang masih di atas 5%? Tahun ini pertumbuhan kredit masih akan terhalang oleh lemahnya daya beli dan likuiditas. Akankah kebijakan pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi melalui mesin konsumsi bisa menimbulkan crowding out effect? (Baca selengkapnya dalam Majalah Infobank Nomor 466 Juli 2017 dalam versi cetak maupun digital)

Related Posts

News Update

Top News