Jakarta – Untuk memperkuat kebijakan makroprudensial yang akomodatif, Bank Indonesia (BI) menaikkan kisaran batasan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dari 80-92 persen menjadi 84-94 persen untuk mendukung pembiayaan perbankan bagi dunia usaha.
Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Jakarta, Kamis, 21 Maret 2019 mengatakan, batasan RIM yang dinaikkan menjadi 84-94 persen ini rencananya akan mulai efektif pada 1 Juli 2019. Untuk saat ini, Bank Sentral akan terus melakukan komunikasi kepada perbankan dan otoritas terkait.
“Kami akan komunikasi dengan industri. Kita beri dukungan terhadap perbankan untuk dorong kreditnya. Sehingga kredit bisa tumbuh diatas batas atas dari target pertumbuhan kredit,” ujar Perry.
BI mengeluarkan kebijakan RIM bertujuan untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan kepada sektor riil sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian. Namun BI memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak akan signifikan mengurangi jumlah kredit yang disalurkan bank ke nasabah.
Dalam ketentuan RIM yang baru ini berlaku bagi Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan memperluas komponen pembiayaan yang memasukkan Surat-Surat Berharga yang dibeli oleh BUK, BUS, dan UUS, dan memperluas komponen simpanan dengan memasukkan SSB yang diterbitkan oleh BUS dan UUS.
“Tapi ini untuk bank yang RIM nya sudah mendekati 92 persen mereka mempunyai ruang untuk menyalurkan kredit lagu sehingga batas atasnya kita naikkan lagi. RIM ini kita naikkan untuk mendorong kredit, tapi kami pastikan likuiditasnya itu cukup,” paparnya.
Untuk memastikan kecukupan likuiditas perbankan dalam menyalurkan kreditnya, lanjut Perry, Bank Sentral sendiri terus menempuh berbagai strategi operasi moneter untuk meningkatkan ketersediaan likuiditas yakni melalui transaksi term-repo secara reguler dan terjadwal, di samping FX Swap.
RIM merupakan parameter baru untuk menggantikan parameter rasio pendanaan terhadap simpanan (LFR). Perbedaan mendasar dari RIM dibanding LFR adalah perbankan dapat menyalurkan kredit atau pembiayaan dengan cara membeli obligasi korporasi, dan tidak hanya dengan menyalurkan pembiayaan kredit ke nasabah saja. Dengan begitu penyaluran kredit bank bakal lebih tertopang.
Adapun obligasi korporasi yang dapat dihitung sebagai kredit harus memenuhi beberapa ketentuan, yakni obligasi yang berperingkat layak investasi, dan juga diterbitkan bukan oleh perbankan maupun sektor keuangan non-bank. (*)
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More