Moneter dan Fiskal

Dorong Ekonomi, DPR Desak Pemerintah Rancang Fiskal Ekspansif

Jakarta – Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) H Said Abdullah meminta pemerintah merancang kebijakan fiskal ekspansi-konsolidatif dalam merumuskan RAPBN 2021 agar memiliki efek positif dan membangkitkan ekonomi.

Dirinya mengungkapkan, untuk memastikan kebijakan tersebut berdampak optimal, maka desain dalam RAPBN 2021 harus mampu menjawab berbagai tantangan yang muncul pada tahun 2021 dan berhasilnya capaian target ekonomi pada tahun 2020.

“Disiplin fiskal dibutuhkan karena pemulihan ekonomi memerlukan kredibilitas APBN,” ujar Said dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Senin, 20 Juli 2020.

Untuk menopang itu, kata dia, cangkang kebijakan makro, terutama struktur APBN harus berani ekspansif. Karenanya, ruang fiskal bisa diperluas dengan dukungan kebijakan utang yang dinaikan, dari 34 persen menjadi 40% PDB dan defisit fiskal pada kisaran 5,2%.

“Target pertumbuhan ekonomi 5% sebagaimana yang menjadi target pemerintah harus disokong dengan ruang fiskal yang lebih longgar dari tahun ini,” ucapnya.

Ia menilai, perekonomian Indonesia masih penuh tantangan besar pada 2021 nanti. Bahkan dampak pandemi covid-19 masih menghantam perekonomian global, termasuk perekonomian nasional. Kondisi ini menyebabkan sektor privat terpuruk. Dengan terpukulnya sektor riil maka otomatis belanja pemerintah menjadi andalan.

“Walaupun situasi tahun depan kemungkinan besar tantangannya tidak seberat tahun ini, namun tahun 2021 tetap membutuhkan dukungan besar kebijakan fiskal,” terangnya.

Menurutnya, ada 5 tantangan yang harus dihadapi pada 2021. Pertama, keberhasilan penanganan Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam tahun 2020, menjadi prasyarat dalam menyusun kebijakan RAPBN Tahun 2021.

Salah satu kunci untuk mencapai keberhasilan adalah efektifitas penggunaan anggaran yang sudah dialokasikan. Untuk itu, pemerintah perlu memperbaiki realisasi penyerapan anggaran penanganan Covid 19 yang masih rendah.  Adapun realisasi per 1 Juli 2020 masih sebesar Rp127,4 triliun atau setara dengan 18,3% dari alokasi total dukungan fiskal penanganan Covid-19 sebesar Rp695,2 triliun.

Pemerintah harus meminimalisir setiap kendala yang dihadapi selama Semester I 2020, sehingga akselerasi dan optimalisasi penyerapan anggaran pada Semester II 2020 bisa lebih baik. “Belanja tahun 2020 harus menunjukkan hasil yang menjadi sasarannya, terutama mampu menggerakkan sektor riil, setidaknya pada level UMKM yang berkontribusi sebesar 60% PDB kita,” tegasnya.

Kedua, sambung dia, soliditas dan sinergi otoritas fiskal dan moneter harus tetap terjaga dengan baik. Hal ini sangat penting untuk memastikan keberlangsungan program PEN.

Salah satunya adalah memastikan kebijakan berbagi beban (burden sharing) antara Pemerintah dan BI untuk memenuhi kebutuhan anggaran barang publik (public goods) dan barang non-publik (non-public goods), terlaksana secara adil, transparan dan berkelanjutan.

Kebijakan ini diharapkan akan memberikan ruang fiskal yang lebih lebar kepada Pemerintah dengan tetap menjaga kredibilitas sektor moneter yang prudent, dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional. “BI bisa terlibat lebih dalam pada sektor riil, dengan memberikan dukungan kebijakan pada sektor UMKM, dari hulu hingga ke hilir,” tuturnya.

Ketiga, perluasan inklusi keuangan untuk UMKM, sehingga likuiditas UMKM tidak semata bertumpu pada perbankan dan insentif fiskal pemerintah. Salah satu alternatifnya adalah memperluas basis pembiayaan UMKM dengan membuka opsi pasar modal “di skala UMKM”. “Dengan catatan, keuangan dan usaha yang sehat pada UMKM. Bila UMKM sehat sesungguhnya sangat layak mendapatkan perluasan pembiayaan dari pasar modal,” imbuhnya.

Keempat, lanjut dia, desain belanja program pada RAPBN 2021 harus mampu manjawab permasalahan yang harus diintervensi. “Menjaga daya beli masyarakat lapis bawah, perluasan basis ekspor yang tidak hanya menggantungkan pada komoditas, dan memperluas lapangan kerja yang kompatibel dengan angkatan kerja kita dengan me-leverage usaha UMKM,” terangnya.

Kelima, memitigasi dampak eksternal, khususnya ketegangan kawasan di Laut Cina Selatan, dan di Teluk, perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok, belum pulihnya resesi global, terutama di negara negara tujuan ekspor dan impor, dan kebijakan The Fed yang berdampak pada sektor moneter.

“Bila keserempakan agenda tersebut dilaksanakan secara disiplin, penuh kepatuhan dan evaluasi yang tepat, saya yakin, kebijakan fiskal ekspansif-konsolidatif akan mempercepat pemulihan ekonomi kita pada tahun 2021, bahkan capaian capaian ekonomi yang ditargetkan sangat mungkin terealisasi,” tutupnya. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Bos BI Beri Sinyal Turunkan Suku Bunga Acuan di 2025

Jakarta - Bank Indonesia (BI) memberi sinyal bakal menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate… Read More

1 hour ago

Intip Proyek Properti Mewah Trump Bersama Raja Media RI, dari Lido hingga Bali!

Jakarta - Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat setelah memenangkan Pemilu 2024 dengan… Read More

2 hours ago

IHSG Ditutup Melemah ke Level 7.383, Cuma Dua Sektor Ini Menguat

Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) hari ini, 6 November 2024, ditutup merosot 1,44… Read More

2 hours ago

Tingkatkan Kenyamanan Bertransaksi, Bank Mandiri Hadirkan Layanan Verifikasi Bank Garansi

Jakarta - Bank Mandiri menegaskan komitmen untuk menghadirkan inovasi layanan keuangan guna memberikan kenyamanan dan… Read More

2 hours ago

Bos BI Beberkan Dampak ‘Ngeri’ Jika Donald Trump Menang Pilpres AS

Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan hasil sementara Pemilu Amerika Serikat (AS)… Read More

2 hours ago

BI Targetkan Volume Transaksi QRIS Tembus 5,5 Miliar di 2025

Jakarta – Bank Indoensia (BI) menargetkan volume transaksi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) pada 2025 akan mencapai 5,5… Read More

3 hours ago