Jakarta – Dokter Spesialis Paru RSA Universitas Gadjah Mada (UGM) dr. Astari Pranindya Sari, M.Sc., Sp.P., menjelaskan pentingnya vaksin dalam penanganan dan penanggulangan penyebaran virus Covid-19. Menurutnya, terdapat dua alasan kenapa vaksinasi menjadi penting.
Alasan pertama, fakta bahwa kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat dengan jumlah kasus positif tercatat lebih dari 900 ribu. Hal itu juga didukung dengan fakta-fakta lain, seperti persentase mortalitas dan positivity rate di Indonesia yang melebihi standar rata-rata di dunia.
Kedua, kondisi kenaikan ini, baik kasus positif dan mortalitas, terjadi bukan tanpa obat. Meskipun obat bagi pasien positif sudah banyak di Indonesia, tetapi mortalitas pasien tetap saja naik. Dari hal tesebut, Astari menyebut pihaknya memutuskan untuk kembali ke prinsip awal, yakni ‘mencegah lebih baik daripada mengobat’.
“Dari pencegahan itulah posisi vaksin menjadi penting, tentunya hal itu diiringi dengan upaya pencegahan lain, seperti 3M dan 3T. Kesemuanya berkesinambungan dan tidak bisa berdiri sendiri,” kata Astari melalui keterangan pers UGM di Jakarta, Jumat 22 Januari 2021.
Terkait adanya penolakan dan protes dari beberapa masyarakat terkait vaksin, Astari mengungkapkan keprihatinannya. Ia menyebut vaksin itu bisa eksis dan didistribusikan sampai sekarang merupakan perjalanan panjang. Dari uji laboratorium dengan objek hewan, kemudian berlanjut ke uji klinis yang terbagi ke dalam tiga fase, hingga terakhir keluarlah persentase efikasi.
Astari menyebut efikasi itu juga memerlukan syarat. Dari WHO, syarat efikasi untuk vaksin ini minimal 50% dan harus melewati minimal sampai uji klinis fase ketiga. Dan seperti yang kita tahu, uji klinis vaksin Sinovac yang dipimpin oleh Prof. Kusnadi Rusmil di Bandung, mencapai angka 65,3%. Angka tersebut lebih tinggi dari syarat WHO karena itu dapat perizinan EUA dari BPOM.
“Dari proses tersebut, saya harap masyarakat paham bahwa ini berangkat dari usaha untuk pencegahan dan dilakukan dengan sangat serius. Mungkin ada masyarakat yang berpendapat bisa membangun antibodi dengan terkena virus dahulu. Namun, ini dari segi kedokteran tidaklah etis karena sudah ada upaya pembuatan vaksin. Selain itu, prosesnya juga membahayakan. Oleh karenanya, kita berharap masyarakat dapat menerima dan mendukung vaksin ini,” ujarnya.
Astari juga menyebut vaksin Sinocav ebih stabil. Ia menyebut secara prinsip sebenarnya semua vaksin itu sama karena yang disasar adalah pembentukan antibodi terhadap Protein S pada virus. Namun, untuk Sinovac prosesnya dengan menggunakan inactivated virus atau virus yang telah dimatikan. Sementara untuk lainnya, seperti Pfrizer dan Moderna yang memodifikasi mRNA virus tanpa mematikannya lebih tidak stabil, walaupun efikasinya lebih tinggi. (*)
Editor: Rezkiana Np
Jakarta – Ekonom Senior Core Indonesia Hendri Saparini mengatakan masih terdapat gap yang tinggi antara kebutuhan pendanaan… Read More
Suasana saat penantanganan kerja sama Bank Mandiri dengan PT Delta Mitra Sejahtera dengan membangun 1.012… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut kinerja pasar modal Indonesia masih akan mengalami… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyesuaikan jadwal operasional kantor cabang sepanjang periode… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (19/12) kembali ditutup merah ke… Read More
Jakarta - Senior Ekonom INDEF Tauhid Ahmad menilai, perlambatan ekonomi dua negara adidaya, yakni Amerika… Read More