Moneter dan Fiskal

Diversifikasi Ekspor untuk Antisipasi Resesi Global

Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia masuk ke dalam kelompok negara yang memiliki resiliensi terhadap kondisi ketidakpastian global saat ini, sebab tidak bergantung terlalu besar pada ekspor atau kontribusi ekspor terhadap ekonomi negara.

Kendati demikian, Airlangga juga menyebutkan pertumbuhan ekspor dan impor 2023 akan turun. Pada 2023, ekspor diproyeksikan hanya tumbuh 12,8% dan impor 14,9%. Sedangkan, di 2022 ekspor tumbuh 29,4% dan impor tumbuh 25,37%. “Ini terjadi karena basisnya sudah tinggi,” kata Ketum Golkar itu.

Head of Center of Industry, Trade, and Investment at Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai, pemerintah perlu mendorong diversifikasi produk berorientasi ekspor. Saat ini, Indonesia masih banyak bergantung pada ekspor komoditas. Sebab itu, Indonesia perlu mengubah struktur ekspor melalui diversifikasi produk dan peningkatan nilai tambah.

“Tentu yang kita dorong saat ini adalah bagaimana kita bisa melakukan diversifikasi produk yang kita ekspor. Sehingga kita tentunya tidak hanya mengandalkan dari ekspor komoditas. Selama ini kita masih mengandalkan dari ekspor barang mentah dan juga komoditas, yang mana dari segi nilai tambah itu juga rendah,” kata Andry Satrio dikutip Kamis, 12 Januari 2023.

Andry menilai, industri dalam negeri juga masih belum optimal dalam keterkaitan dengan rantai nilai global (global value chains/GVC). GVC adalah jaringan tahapan produksi barang dan jasa dari desain produk hingga distribusi barang ke konsumen akhir yang diproduksi dan dirakit di berbagai negara.

“Hal itu didorong oleh kondisi industri kita saat ini di mana kita bisa berbicara masalah industri yang masih minim keterkaitannya dengan global value chains dimaksud,” ujarnya.

Kendati demikian, Andry mengatakan konsumsi dalam negeri masih akan sangat membantu menopang ekonomi nasional. Hal ini berbeda dengan negara-negara lain yang masih mengandalkan sektor perdagangan ekspor dan impor dalam perekonomian.

“Kita lihat kalau misalnya ke depan ekspor kita turun apalagi dari segi produk-produk jadi, tentunya dampak secara agregat terhadap perekonomian tidak terlalu besar. Kenapa? Karena PDB kita masih didominasi oleh sektor konsumsi,” ungkapnya.

Selain itu, Andry menilai perjanjian kerja sama dagang dengan sejumlah negara juga patut ditingkatkan mengingat kondisi ekonomi global juga tengah tidak stabil.

“Yang kedua adalah bagaimana kita bisa melakukan perjanjian kerja sama perdagangan yang memang cukup masif ya. Di saat kondisi yang memang tidak cukup stabil, sehingga proses perjanjian kerjasama tersebut adalah proses di mana kita bisa mendorong agar kestabilan dari perdagangan dengan negara luar itu bisa tetap terjaga,” tegasnya.

Selain itu, langkah yang bisa ditempuh adalah meningkatkan kapasitas intelijen pasar. Kondisi pasar yang tidak stabil tentu membutuhkan bukan sekedar prediksi melainkan juga kekuatan agar market yang ada di luar ini bisa dipenuhi oleh produk-produk dari Indonesia.

“Jadi, kita bisa melakukan kegiatan intelijen pasar di negara luar sehingga kita bisa mendapatkan setidaknya gambaran apa yang perlu kita dorong atau apa yang perlu kita kembangkan di industri domestik kita,” pungkasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa pemerintah perlu melakukan sejumlah kebijakan untuk mendorong ekspor tetap kompetitif.

“Solusinya dengan mendorong kenaikan ekspor barang jadi bernilai tambah bukan lagi olahan primer. Porsi ekspor hitech terhadap total manufaktur sebaiknya ditingkatkan. Dan ini butuh program industrialisasi secara masif.” jelas Bhima.

Salah satu komoditas yang bisa didorong adalah CPO, yang mana turunannya banyak dipakai di kosmetik. “Misalnya CPO di ekspor sudah dalam bentuk kosmetik. Apalagi ada Lipstick effect dimana saat resesi permintaan kosmetik secara historis meningkat. Produk kosmetik membutuhkan bahan baku oleokimia yang berasal dari produk turunan sawit,” sebut Bhima.

Untuk mengolah bahan baku menjadi bahan jadi, tentunya tidak bisa dilakukan sendiri, hanya pengusaha saja. Industrialisasi butuh dukungan dari berbagai pihak. “Proses industrialisasi butuh dukungan pembiayaan murah, insentif pajak yang tepat sasaran dan kolaborasi swasta dengan BUMN,” tutup Bhima. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Tinggal Tap, QRIS NFC Bakal Meluncur di Kuartal I-2024

Jakarta – Bank Indonesia (BI) akan segera meluncurkan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) berbasis NFC (Near Field Communication)… Read More

7 mins ago

Diduga Kena Serangan Ransomware, BRI Pastikan Data dan Dana Nasabah Aman

Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) buka suara soal isu kebocoran data nasabah yang disebabkan… Read More

1 hour ago

Emiten Ritel MR.DIY Bidik Pembukaan 1.000 Toko Baru Tahun Depan

Jakarta - PT Daya Intiguna Yasa Tbk (MDIY) atau emiten ritel Mr.DIY, menyatakan bahwa raihan… Read More

2 hours ago

IHSG Sesi I Ditutup Merah ke Level 6.991, Ini Biang Keroknya

Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada perdagangan sesi I hari ini, Kamis, 19… Read More

2 hours ago

Hore! Mulai 21 Desember, BI FAST Mendukung Transaksi hingga 500 Rekening Sekaligus

Jakarta – Bank Indonesia (BI) akan memperluas layanan BI FAST dengan menghadirkan fitur transaksi kolektif (bulk… Read More

3 hours ago

Harga Saham MDIY Terjun Bebas usai Pencatatan Perdana di BEI

Jakarta – Harga saham PT Daya Intiguna Yasa Tbk (MDIY) anjlok 24,24 persen atau terkena… Read More

3 hours ago