Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia
DALAM riset Moody’s Investors Service tentang “10 Pertanyaan Kredit Besar 2024” yang terekspose dalam website-nya yang terbit 18 Januari 2024, disebutkan beberapa catatan yang relevan dengan perbankan Indonesia ke depan.
Pertama, apakah laju penurunan inflasi global akan mulus atau bergelombang? Moody’s memperkirakan inflasi akan kembali ke target bank sentral pada 2025 nanti, tetapi pada jalur bergelombang dengan lompatan sesekali yang mempersulit pembuatan kebijakan dan membuat pasar tetap gelisah. Tekanan geopolitik menambah risiko melandainya inflasi karena terancam oleh kenaikan harga minyak dunia yang mengarah ke kisaran US$90-US$100 per barel.
Mungkin saja ada beberapa bank sentral negara maju yang memberanikan diri memulai pemangkasan suku bunga kebijakan, sekiranya arah inflasinya menunjukkan pelandaian secara persisten. Salah satu bank sentral yang diperkirakan akan mulai memangkas suku bunga acuan adalah bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve atau The Fed, mulai Mei tahun ini. Penurunan akan berlanjut hingga mencapai level 4,25%-4,50% pada akhir tahun ini.
Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga diperkirakan akan memangkas suku bunga acuan menjadi 3,25% pada akhir tahun ini. Sebaliknya, lantaran inflasi Inggris yang lebih tinggi daripada Uni Eropa secara keseluruhan memberikan ruang sempit bagi bank sentralnya, yakni Bank of England (BoE), untuk segera menurunkan suku bunga acuan.
Kedua, pasar treasuri AS akan tetap stabil sekiranya The Fed tetap bertahan menjaga posisi suku bunga acuan pada level sekarang, yakni 5,25%-5,50% setidaknya hingga pertengahan tahun ini. Normalisasi yang diharapkan oleh kebijakan The Fed tersebut serta upaya kebijakan menjaga stabilitas sektor keuangan akan menurunkan risiko volatilitas yield atau imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun pada kisaran 4%.
Ketiga, dengan stance yang cukup jelas bahwa lebih banyak bank sentral negara maju akan menahan level suku bunga acuannya seperti level sekarang ini setidaknya hingga akhir kuartal kedua tahun ini, maka peluang gagal bayar atau default korporasi sebagai borrower atau obligor (debitur) akan menurun secara signifikan. Ini akan memberikan ruang manuver yang lebih luas bagi dunia usaha untuk melanjutkan ekspansi bisnisnya sehingga perekonomian terus bergerak.
Baca juga: BI Proyeksikan Pertumbuhan DPK Perbankan Triwulan I 2024 Masih Melambat
Konfirmasi ini setidaknya dapat dilihat dari pertumbuhan positif ekonomi AS di 2023 lalu yang selama empat kuartal berturut-turut tumbuh dengan baik, masing-masing sebesar 2,0%; 2,1%; 5,2%, dan 3,3% sehingga secara setahun penuh perekonomian AS tumbuh berkisar 3,15%. Suatu angka pertumbuhan ekonomi yang baik untuk kelompok negara besar dan maju seperti AS.
Keempat, sekiranya suku bunga acuan global dan kawasan masih bertahan di level saat ini dan dalam kurun waktu tiga-enam bulan ke depan bisa mulai dilandaikan, maka langkah ini akan memberikan ruang gerak yang lebih fleksibel bagi sektor properti untuk ekspansif. Dengan ditahannya suku bunga acuan memberikan sinyal kepada sektor perbankan untuk juga menahan suku bunga kredit mortgage-nya sehingga menstimulasi para konsumen untuk mengajukan fasilitas kredit mortgage.
Bergairahnya sektor properti akan memberikan dampak pengganda yang luar biasa bagi perekonomian secara luas karena keterkaitan sektor properti dengan subsektor-subsektor ekonomi lainnya dalam sebuah ekosistem besar. Keterkaitan antar subsektor ekonomi dalam ekosistem sektor properti dari hulu hingga hilir akan mendorong kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional suatu negara.
Kelima, pelaku sektor perbankan seyogianya mempertimbangkan kehadiran perangkat teknologi yang dikenal dengan nama kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), yakni bidang ilmu komputer yang dikhususkan untuk memecahkan masalah kognitif yang umumnya terkait dengan kecerdasan manusia, seperti pembelajaran, penciptaan, dan pengenalan gambar.
Asisten virtual seperti Siri dari Apple, Google Assistant, dan Alexa dari Amazon adalah contoh yang paling umum dari AI yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat menjawab pertanyaan, memberikan informasi cuaca, mengatur pengingat, dan bahkan memesan barang secara online.
Karena AI adalah inovasi teknologi yang telah mendekati kemampuan manusia, maka dengan memanfaatkannya secara bijaksana, AI akan membantu memudahkan pekerjaan dan meningkatkan efisiensi dalam berbagai aspek kehidupan. Sangat terbuka peluangnya pekerjaan-pekerjaan manual oleh tenaga manusia akan digantikan oleh AI tanpa mengurangi tingkat kualitas layanan bank kepada konsumen dan mitra usahanya.
Keenam, pelaku perbankan di mana pun harus memberi atensi khusus terhadap potensi risiko geopolitik, utamanya dengan masih berlanjutnya perang di Ukraina, disusul perang di Jalur Gaza dan Laut Merah. Bank-bank berstatus bank devisa yang memiliki bank-bank koresponden di luar negeri dan nasabah yang memiliki bidang usaha yang sensitif terhadap tekanan geopolitik harus memperhitungkan aspek risikonya ketimbang aspek peluangnya.
Mitigasi risiko terhadap ketegangan geopolitik – termasuk ketegangan antarkawasan, seperti di Laut China Selatan yang melibatkan Tiongkok, Taiwan, dan negara-negara ASEAN – harus dikerjakan segera sehingga potensi risiko kerugian bank dapat dihindarkan.
Ketujuh, pelaku perbankan perlu menyiapkan langkah antisipatif terhadap efek negatif dari apa yang disebut dengan supercycle pemilihan umum presiden (pilpres) di sejumlah negara, terutama tehadap aktivitas kreditnya. Setidaknya terdapat sepertiga dari jumlah negara di dunia melakukan general election (pemilu) baik untuk presiden maupun perdana menteri serta legislator dan senator.
Disebutkan bahwa arah kebijakan ekonomi dan industri serta kebijakan luar negeri kemungkinan menjadi medan pertempuran utama pilpres di dalam debat para calon presiden (capres). Skala dan arah agregat keputusan kebijakan di bidang-bidang ini akan menentukan efek kredit ke depannya.
Pelajaran untuk Perbankan Indonesia
Ketujuh catatan di atas tampaknya relevan dengan “suasana kebatinan” yang menggelayuti pelaku perbankan di Indonesia. Sangat mungkin juga pelaku industri keuangan nonbank (IKNB). Menjadi rasional jika bankir-bankir domestik untuk menginisiasi strategi mitigasi risiko baik dari aspek eksternal (global dan regional/kawasan) maupun internal (domestik).
Baca juga: Ada Peluang Besar di Segmen Perbankan Ritel Indonesia, Standard Chartered Lakukan Strategi Ini
Antisipasi terhadap ancaman risiko geopolitik mutlak harus dilakukan karena secara langsung dan tidak langsung tekanan geopolitik akan menjalar ke perekonomian Indonesia melalui tiga kanal, yaitu kanal perdagangan (ekspor dan impor), kanal sektor keuangan (perbankan, pasar modal, pasar keuangan), dan kanal investasi (foreign direct investment atau FDI dan portfolio investment melalui pasar instrumen keuangan dan investasi).
Antisipasi terhadap potensi risiko instabilitas politik lokal – terkait dengan perhelatan pemilu 2024 yang cukup lama sejak periode kampanye hingga penetapan keputusan final yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pemenang pemilu – mutlak harus dilakukan.
Dalam berbagai catatan lembaga internasional, pada 2024 ini lebih ditonjolkan persoalan terkait risiko geopolitik dan siklus pemilu di sejumlah negara ketimbang risiko inflasi dan suku bunga tinggi yang cepat atau lambat akan melandai.
Jika sesuai dengan jadwal pemilu, maka hampir pasti di pengujung 2024 ini, tepatnya 20 Oktober 2024, akan terjadi pergantian pucuk pimpinan nasional di Indonesia, berlanjut ke penetapan kabinet beserta formasinya. Dari awal tahun ini hingga jelang akhir tahun bisa disebut sebagai “masa penantian” menuju “masa transisi” dari pemerintahan lama ke pemerintahan baru, tentunya juga harus diperhitungkan oleh segenap pelaku perbankan, utamanya terkait dengan sikap para pelaku usaha, menjelang, selama, dan sesudah pemilu berlangsung.
Jika secara common practice terdapat tiga skenario, yakni skenario optimistis, moderat, dan pesimistis, maka opsi skenario moderat untuk 2024 ini berpeluang menjadi pilihan mayoritas atau bahkan pilihan mutlak kalangan perbankan nasional. Gambaran skenario moderat adalah setidaknya proposal atas target-target kuantitatif dalam business plan (rencana tahunan) bank-bank dipatok setidaknya setara dengan realisasi pencapaian target-target kuantitatif di 2023 lalu.
Dalam situasi dan kondisi menjelang, selama, dan sesudah masa pemilu, utamanya pilpres yang penuh hiruk pikuk, maka prinsip under promising over deliver rasanya lebih tepat ketimbang prinsip over promising under deliver. Yang pasti, sikap cautious optimism (optimisme yang hati-hati) seyogianya menjadi acuan setiap pebisnis di tahun politik ini. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra
Jakarta – Indonesia dan negara berkembang lainnya menuntut komitmen lebih jelas terhadap negara maju terkait… Read More
Jakarta – Kapal Anchor Handling Tug and Supply (AHTS) Harrier milik Pertamina Hulu Energi Offshore South East Sumatera (PHE… Read More
Bangkok – Indonesia dianggap sebagai pasar yang menarik bagi banyak investor, khususnya di kawasan Asia… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mendukung program pembangunan 3 juta rumah Presiden Prabowo Subianto yang… Read More
Padang - Wakil Menteri Koperasi (Wamenkop) Ferry Juliantono mengapresiasi kinerja Koperasi Konsumen Keluarga Besar (KSUKB)… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) memperpanjang kebijakan penurunan nilai denda keterlambatan pembayaran kartu kredit hingga… Read More