Oleh Listiarini Dewajanti
METAVERSE, NFT, blockchain, dan DeFI. Istilah-istilah tersebut makin sering kita dengar akhir-akhir ini. Selain blockchain dan crypto, istilah-istilah itu muncul ke public awareness hanya baru-baru ini.
Metaverse, misalnya, pada awalnya banyak kalangan mengatakan itu baru sebatas konsep. Namun, kemudian, metaverse masuk ke public awareness setelah Facebook mengganti namanya menjadi Meta, dan founder-nya tampil menceritakan bagaimana kehidupan di metaverse.
Metaverse pada intinya adalah virtual universe yang terasa seperti reality, dengan ruang dan waktu virtual, yang dipadu dengan all things virtual: virtual human, virtual connections, (atau disebut avatar-“perwakilan diri secara virtual”) virtual assets, virtual transaction, virtual money. Mudahnya, bayangkan semua yang ada di dunia nyata ini punya avatar atau perwakilan virtualnya di metaverse. Setiap avatar dan perwakilan virtual tersebut mempunyai identitas atau “sertifikat hak milik” yang disebut NFT (non fungible token).
Pertanyaan yang mengemuka di kalangan perbankan adalah pertanyaan yang cukup eksistensial: masih diperlukankah banking di metaverse? Atau pertanyaan yang lebih oportunistis dan optimistis: bagaimana bank merepresentasikan dirinya di metaverse sehingga masih relevan untuk eksis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat wajar muncul. Kehadiran metverse makin memperkuat kehadiran blockchain yang diperlukan untuk transaksi menggunakan crypto yang menjadi mata uang di metaverse. Blockchain dan cryptocurrency merupakan urat nadi Decentralized Finance atau dikenal dengan istilah DeFi, yang mengusung – seperti tergambar dari namanya – desentralisasi sistem keuangan, suatu sistem yang selama ini menjadi raison d’etre atau reason of being adanya sistem perbankan.
Banyak pihak yang juga melihat bahwa metaverse tidak akan menjadi mainstream dalam waktu dekat. Betulkah demikian?
Metaverse merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan apa yang disebut Web 3.0, yang ditilik dari sebutan yang menunjukkan bahwa ada Web 2.0 dan Web 1.0. Perbedaan utama dari versi web tersebut pada intinya adalah tingkat interaksi antara internet dan pengguna internet. Web 3.0 atau biasa disebut web3 adalah ekosistem online yang terdesentralisasi berbasis blockchain (a decentralized online ecosystem based on blockchain) mulai terlihat di sekitar 2014. Diperkenalkan pertama kali oleh co-founder Ethereum, Gavin Wood, dan makin mendapatkan momentumnya di 2021, dan metaverse adalah perkembangan terakhir dari Web3, sedangkan dasar interaksi yang terjadi dalam metaverse adalah interaksi berdasarkan blockchain. Aset digital dalam metaverse, dan mata uang yang dipakai dalam metaverse semua berdasarkan blockchain. NFT yang hanya bisa disimpan dalam blockchain sebagai “SDB”-nya.
Ditilik dari kecepatan evolusi dan penambahan pengguna internet yang terlihat eksponensial, tidak mustahil, dalam periode yang tidak terlalu lama, metaverse ini akan menjadi mainstream, seperti apa yang terjadi pada fenomena media sosial pada Web 2.0. Morgan Stanley pada Desember 2021 bahkan juga menyatakan bahwa metaverse adalah “the next big investment theme”. Potensi bisnis di metaverse mencapai US$1 triliun (Grayscale Investment Report, 2021).
Dengan perkembangan Web3 yang sedemikian cepatnya, akan lebih baik jika bank menjadikan metaverse sebagai partner ketimbang sebagai lawan. Melawan perkembangan teknologi informasi dan finansial merupakan usaha yang muskil, seperti terlihat pada usaha perbankan dan bank sentral untuk “membunuh” crypto currencies.
Pergaulan bank dengan aset digital dan mata uang crypto akan membuat bank lebih adaptif dan bisa berkenalan dan masuk dalam pasar metaverse. Adopsi proaktif bank ke metaverse merupakan suatu langkah yang strategik untuk membuat bank tetap relevan di tengah derasnya disrupsi yang menggerus bisnis model bank “zaman old”.
Tahap awal adaptasi bank menuju kebesertaan dalam metaverse ialah “mengawinkannya” dengan bisnis yang sudah ada. Bank bisa memanfaatkan kelemahan blockchain, yaitu keamanan transaksi dan keamanan NFT sebagai sertifikat bukti kepemilikan aset digital. Bank bisa memberikan jasa kustodi untuk penyimpanan NFT, cryptocurrency dan digital wallet-nya. Para pemilik/investor pemula akan merasa lebih aman jika yang menyimpan aset mereka adalah bank yang mereka kenal keamanannya, ketimbang menyerahkan kustodi aset digital mereka ke pihak ketiga yang tidak mereka kenal dan tidak terawasi dengan baik. Hal ini sudah dilakukan oleh bank-bank di luar negeri. Di wilayah Asia Tenggara, Union Bank of Philippines sudah menawarkan crypto trading dan kustodinya.
Semua yang dikemukakan di atas adalah tentang peluang, belum memperhitungkan regulasi yang berkaitan dengan risiko, yang pasti akan menyertai transaksi-transaksi di metaverse, di saat transaksi-transaksi di metaverse menjadi maistream…atau kali ini regulasi akan ketinggalan? Wallahualam.
*) Penulis merupakan pengamat perbankan dan investasi serta mantan bankir disalah satu Bank BUMN
Jakarta - Perusahaan pembiayaan PT Home Credit Indonesia (Home Credit) terus berupaya meningkatkan inklusi keuangan… Read More
Jakarta - Hilirisasi nikel di Pulau Obi, Maluku Utara membuat ekonomi desa sekitar tumbuh dua… Read More
Jakarta - Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mendukung langkah Induk Koperasi Unit Desa (Inkud)… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk pertama kalinya menggelar kompetisi Runvestasi pada… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi tanggapan terkait penutupan Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Self-Regulatory Organization (SRO), dengan dukungan dari Otoritas… Read More