Expertise

Di Tengah Samudra “Asal Bapak Senang”, CEO Agrinas Memilih Mundur

Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group

JOAO Angelo De Sousa Mota memilih mundur dari PT Agrinas Pangan Nusantara (APN) dengan kepala tegak. Tapi, dengan “beban” kegagalan yang ia akui sendiri. “Saya merasa malu,” katanya. Tapi, di balik kata-kata itu, terselip sebuah pertanyaan besar. Apalagi di tengah kasak-kusuk perebutan kursi direksi dan komisaris BUMN.

Apakah kegagalan ini benar-benar dari dia, atau justru buah dari sistem yang lebih rumit – sebuah lingkaran kekuasaan di BUMN di mana yang bertahan bukanlah yang paling kompeten, melainkan yang paling lihai menjilat? Selama ini, dalam dunia korporasi pelat merah, pengunduran diri seorang direktur sering kali bukan sekadar persoalan kinerja, tapi juga pertarungan politik internal.

“Di sini, yang bertahan bukan yang paling paham pangan, tapi yang paling paham siapa yang harus disalami,” ujar seorang mantan komisaris BUMN dalam percakapan gelap.

Agrinas Pangan Nusantara (Persero) adalah BUMN yang bergerak di sektor pangan. Perusahaan ini lahir dari transformasi PT Yodya Karya (Persero), BUMN jasa konstruksi yang beralih fokus penuh ke bidang pangan, sesuai dengan SK Kementerian BUMN No. 32/MBU/02/2025 tertanggal 10 Februari 2025.

Baca juga: Breaking! Danantara Melarang Komisaris BUMN Dapat Tantiem dan Jatah Insentif Direksi Dikurangi

Selanjutnya, Agrinas Pangan Nusantara dibentuk untuk memproduksi bahan pangan berkarbohidrat tinggi, mulai dari padi hingga ubi. Untuk menunjang produksinya, perusahaan juga akan membangun fasilitas Rice Milling Unit (RMU) atau mesin penggilingan beras, serta mesin penggilingan jagung. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada produksi, tapi juga mencakup pengelolaan pasca-panen agar rantai pasok pangan lebih efisien dan berkualitas.

Joao Angelo De Sousa Mota menjadi Chief Executive Officer (CEO) Agrinas baru enam bulan. Keputusan untuk mundur di tengah samudra berebut kursi direksi dan komisaris BUMN tentu mengejutkan. Tidak hanya mengejutkan, tapi juga banyak yang memberi apresiasi atas keterusterangan dan kejujurannya untuk mengumumkan ke publik secara terbuka.

Tidak jarang mendengar, dalam manajemen BUMN, loyalitas ke atas sering kali mengalahkan tanggung jawab. Joao selama menjadi direktur utama mengeluhkan lemahnya peran BPI Danantara dalam mendukung ketahanan pangan. Tapi, benarkah ini sekadar soal ketidakefektifan badan investasi?

Atau, justru cermin dari “birokrasi yang berubah menjadi pasar jabatan”, seperti dikatakan David Apter dalam The Politics of Modernization (1965) – di mana posisi strategis diperjualbelikan, bukan diisi berdasarkan meritokrasi. Hal ini tentu menjadi catatan tebal di Danantara agar tidak terjadi di tengah posisi komisaris dan direksi yang dibagi-bagi sebagai “balas jasa” dalam mencapai kekuasaan.

Nah, dalam konteks Agrinas, kegagalan Joao mungkin bukan terletak pada visinya, melainkan pada fakta bahwa ia tidak bermain dalam rel “politik Asal Bapak Senang (ABS)” yang sudah mentradisi. Seorang sumber dalam Kementerian BUMN berbisik, “Kalau mau aman, jangan ganggu kepentingan komisaris yang punya koneksi istana. Joao terlalu keras mendorong perubahan. Itu bahaya.”

Jelas hal itu mengingatkan pada analisis Jeffrey Winters dalam Oligarchy (2011); “Kekuasaan di Indonesia tidak dijalankan melalui kebijakan, melainkan melalui jaringan patronase”. Dan, dalam jaringan itu, seorang direktur yang terlalu idealis adalah ancaman.

Jika ditinjau dari sudut sosial politik, dapat ditegaskan bahwa pangan sebagai medan pertarungan elite. Dan, Joao berharap pemerintah mendukung petani, tapi yang terjadi justru harga beras melambung. Pendek kata, surplus beras tapi harga tinggi. Ini bukan kebetulan.

Seperti yang sering terjadi di Indonesia. Kelangkaan pangan di Indonesia sering kali bukan masalah produksi, melainkan distribusi – dan distribusi adalah soal politik.

BPI Danantara, yang seharusnya menjadi penyangga ketahanan pangan, justru, jika pernyataan Joao benar telah menjadi “kendaraan baru bagi oligarki”, seperti pernah diingatkan oleh Robison dan Hadiz dalam “Reorganising Power in Indonesia (2004)”. “Badan ini dibentuk Prabowo untuk ‘efisiensi’, tapi dalam praktiknya malah jadi ajang rebutan proyek,” ujar seorang analis kebijakan yang enggan disebut namanya.

Sementara petani tetap miskin, elite BUMN dan politisi sibuk “berebut kursi komisaris” – posisi yang menjanjikan akses ke anggaran dan proyek. Seperti ditulis Sjahrir, ekonom senior, dalam Ekonomi Politik: “Pelajaran dari Korea dan Indonesia (1989): “Di Indonesia, BUMN bukan alat pembangunan, melainkan bank data untuk elite.”

Apakah Masih Ada Ruang untuk Idealisme?

Joao mungkin sudah pergi, tapi persoalannya tetap: Siapa sebenarnya yang gagal? Ada tiga skenario yang dapat jelaskan. Satu, Joao sebagai direktur utama. Ia mengakui kegagalan, tapi ia juga korban dari sistem yang memaksa para pemimpin untuk memilih menjadi bagian dari mesin kekuasaan atau keluar dengan hormat. Atau, melihat kenyataan itu sehingga sudah paham akan gagal di kemudian hari, dan Joao tidak ingin dicap gagal sehingga lebih awal pergi.

Dua, BPI Danantara. Ia lahir sebagai solusi, mesin baru pertumbuhann, tapi berubah menjadi kerumitan baru (paling tidak menurut Joao) – seperti banyak kebijakan di Indonesia yang “bagus di atas kertas, buruk diimplementasi” (Lihat: The Idea of Power in Javanese Culture oleh Anderson, 1990). Semoga tidak demikian. Seperti kata Rosan Roeslani, CEO Danantara.

Baca juga: Danantara Bakal Gelontorkan Rp1,5 Triliun untuk Beli Gula Petani

Sementara itu, Danantara menyatakan telah menerima pengunduran diri Joao tersebut. Rosan Roeslani, menyatakan Danantara Indonesia menerapkan prinsip good corporate governance (GCG) secara ketat di seluruh aspek operasional.

“Setiap aksi korporasi, termasuk di PT Agrinas Pangan Nusantara, dilaksanakan melalui kajian kelayakan yang komprehensif sesuai dengan prosedur,” kata Rosan melalui keterangan tertulisnya, Senin, 11 Agustus 2025.

Tiga, pemerintah. Ketika pangan dijadikan komoditas politik, rakyatlah yang akhirnya menanggung harga tinggi. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca, “Di negeri ini, yang jujur sering kalah. Tapi, sejarah akan mencatat siapa yang benar.” Joao telah memilih mundur dengan kepala tegak. Joao juga membeberkan bahwa sejumlah pebisnis dan pengusaha sudah menguasai sektor pangan nasional. Sementara, menurutnya, pemerintah hanya menguasai 10 persen dari pangan nasional yang ada saat ini. “Sehingga, kita sangat ketergantungan dan itu sangat-sangat berbahaya bagi kelangsungan suatu bangsa,” ujar Joao.

Pertanyaannya sekarang: Akankah ada yang berani menggantikannya dengan semangat yang sama – atau kursinya akan diisi oleh seorang “ABS Baru”?

Jawabnya pasti ada. Justru sekarang sedang beranak pinak yang namanya “Asal Bapak Senang”, sudah bak Samudra. Tapi, Joao pasti tidak sendiri, tentunya. (*)

Galih Pratama

Recent Posts

Hashim Djojohadikusumo Raih Penghargaan ‘Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability’

Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More

2 hours ago

Dua Saham Bank Ini Patut Dilirik Investor pada 2026

Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More

3 hours ago

Hashim Soroti Pentingnya Edukasi Publik Terkait Perubahan Iklim

Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More

4 hours ago

OJK Sederhanakan Aturan Pergadaian, Ini Poin-poinnya

Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More

5 hours ago

40 Perusahaan & 10 Tokoh Raih Penghargaan Investing on Climate Editors’ Choice Award 2025

Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More

5 hours ago

Jelang Akhir Pekan, IHSG Berbalik Ditutup Melemah 0,09 Persen ke Level 8.632

Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More

6 hours ago