Jakarta – Perusahaan elektronik PT Hartono Istana Teknologi (Polytron) tidak gentar menghadapi serbuan produk impor. Di tahun ini, Polytron menargetkan penjualan tumbuh double digit, di kisaran 10 persen.
“Proyeksi mungkin kita masih di double digit, Kira-kira 10 persen secara keseluruhan. Karena EV ini masih kecil, siapa tahu tahun ini EV bisa menjadi kuda hitam,” ujar Direktur Komersial Polytron, Tekno Wibowo di Jakarta, Selasa, 21 Januari 2025.
Tekno menambahkan, sepanjang 2024, penjualan Polytron juga tumbuh double digit di kisaran 14 persen. Tiga lini bisnis Polytron, yakni audio video, home appliances, dan electronic vehicle (EV) kompak mengalami kenaikan, meski pasar Indonesia semakin dibanjiri produk-produk elektronik impor.
Baca juga: Brand Lokal Indonesia Semakin Diapresiasi Masyarakat
Sejauh ini, kontribusi dari lini bisnis audio video dan home appliances masih sangat mendominasi, sekitar 95 persen terhadap total penjualan Polytron. Sedangkan lini bisnis EV baru sekitar 5 persen. Namun lini bisnis kendaraan listrik ini punya potensi besar untuk terus tumbuh.
Keberhasilan Polytron tidak lepas dari kemampuannya dalam menyesuaikan produk dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Sejumlah produk Polytron pun berhasil menggenggam pangsa pasar terbesar di Indonesia.
Polytron juga semakin serius menggarap pasar kendaraan listrik. Tekno mengatakan, saat ini pihaknya sedang membangun pabrik baru dengan kapasitas produksi lebih besar untuk kendaraan listrik. Pabrik ini ditargetkan rampung di kuartal ketiga 2025.
Baca juga: Dongkrak Pendapatan, Emiten Pengelola Mitra10 (CSAP) Dirikan Entitas Usaha Baru
“Kita lagi bangun juga pabrik EV (motor listrik) baru kemungkinan mungkin pertengahan tahun ini kita mungkin akan pindah ke lokasi yang baru dengan kapasitas yang lebih besar,” tegasnya,
Saat ini, Polytron mempunyai tiga fasilitas produksi di Sidorekso dan Krapyak, Kudus, serta Sayung, Demak.
Di lain sisi, Tekno juga menyinggung soal gempuran produk impor di pasar Indonesia. Relaksasi impor membuat barang impor membanjiri pasar Indonesia, termasuk di e-commerce.
Hal ini sebenarnya tidak membawa dampak positif bagi pelaku usaha yang berkomitmen membangun industri manufaktur dan menyerap tenaga kerja di Indonesia, (*) Ari Astriawan