Keuangan

Di Tengah Anomali Ekonomi RI: PDB Tumbuh 5 Persen dan Daya Beli Tetap Ambruk

Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank

INVESTOR dan pelaku usaha sedang ketar ketir. Nilai tukar rupiah yang pada awal tahun 2024 sebesar Rp15.390 per USD, ambruk hingga Rp16.350 per USD1 pada 30 Juni kemarin (Rp16.427 per USD pada 27 Juni 2024). Beberapa analis menyebutkan depresiasi masih bisa berlanjut hingga Rp17.000 per USD1 karena volatilitas harga komoditas.

Betul bahwa depresiasi nilai tukar rupiah tak lepas dari situasi global, terutama setelah The Federal Reserve batal menurunkan suku bunga acuannya tiga kali tahun ini. Namun, ada faktor fundamental domestik yang membuat rupiah menjadi mata uang yang fragile, yaitu defisit ganda (twin deficit).

Defisit ganda yang dialami Indonesia adalah; Satu, defisit transaksi berjalan atau current account (CA) yang masih terjadi dan pada kuartal satu 2024 defisitnya mencapai USD2,2 miliar, atau dua kali lipat dari kuartal keempat 2023.

Setelah mengalami defisit 2,7 persen dari produk domestic bruto (PDB) pada 2019, 0,4 persen pada 2020, dan 0,3 persen pada 2021, CA Indonesia sempat mencatat surplus 1,0 persen pada 2022, kemudian defisit lagi sebesar 0,4 persen pada 2023. IMF memproyeksikan CA Indonesia akan meningkat menjadi 2,2 persen dari PDB pada 2026. Makin lebar defisit CA, makin kuat sinyal mengenai berkurangnya kemampuan pemerintah membayar utang luar negeri.

Baca juga: OJK Hadapi Dua Tantangan Besar di Industri Asuransi, Apa Saja?

Dua, defisit fiskal yang disebabkan agresifnya belanja pemerintah yang tak diimbangi kinerja penerimaan negara. Untuk membiayai defisit, pemerintah terus menumpuk utang. Selama lima tahun pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) naik dari Rp2.608 triliun menjadi Rp4.514 triliun pada 2019 dan menjadi Rp8.253 triliun tahun ini.

Pasar melihat Prabowo Subianto akan melanjutkan rezim pemerintahan Jokowi yang haus utang. Besarnya utang jatuh tempo sebesar Rp434,29 triliun pada 2024 dan pada 2025 menjadi Rp800,33 triliun membuat membuat investor cemas. Investor khawatir fiskal Indonesia jebol jika pemerintah menanggung beban pembangunan ibu kota Nusantara (IKN) dan program makan gratis. Alarm utang negara makin menyala karena pemerintah akan membuat utang baru untuk membayar cicilan dan bunga, serta proyek yang membebani keuangan negara.

Karena persoalan struktural yang terus terjadi, kemiskinan dan kesenjangan masih mewarnai ekonomi Indonesia. Menurut data Biro Riset Infobank, indeks rasio gini pada 2023 sebesar 0,388, tertinggi dalam periode lima tahun terakhir. Pertumbuhan PDB yang di kisaran 5,05 persen sepanjang 2023 dan 5,11 persen pada kuartal satu 2024, hanya dinikmati oleh kurang dari 1 persen lapisan teratas makanya target angka kemiskinan selalu tidak tercapai.

Mereka adalah; Satu, kalangan high net worth individuals yang memiliki kekayaan minimum USD1 juta sehingga mereka lebih resilien terhadap masa sulit bahkan makin kaya di tengah suku bunga tinggi. Menurut Global Wealth 2023 yang dirilis Credit Suisse Research Institute, jumlah HWNI di Indonesia per 2023 sebanyak 176.757 orang, dimana 1.155 orang diantaranya memiliki kekayaan di atas USD50 juta.

Dua, kelompok yang punya akses terhadap sumber daya negara, seperti para pejabat publik, elit partai politik pendukung pemerintah, dan pengusaha yang memiliki koneksi dengan pejabat publik untuk mengelola sumber daya alam seperti pertambangan. Mereka adalah kelompok yang dirangkul pemerintah untuk menciptakan simbiosis mutualisme secara ekonomi maupun kestabilan sosial politik.

Indikator kedua kelompok di atas menikmati pertumbuhan ekonomi terindikasi dari pertumbuhan dana di rekening perbankan yang nilainya di atas Rp2 miliar. Menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dana di rekening gendut yang pada Maret tumbuh 8,79 persen, pertumbuhannya menguat menjad 10,11 persen pada April 2024. Artinya, makin banyak orang kaya yang uangnya bertambah dan korporasi yang memilih wait and see dibanding melakukan ekspansi atau investasi.

Sementara, nestapa masyarakat papan bawah terlihat dari menurunnya dana di rekening perbankan yang nilainya di bawah Rp100 juta, yang pada bulan April 2024 anjlok 4,06 persen. Para pelaku bisnis termasuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang mengandalkan permintaan pasar makin tertekan. Kondisi masyarakat tidak baik-baik saja sebetulnya sudah cukup lama tapi ditutupi dengan bantuan sosial (bansos) dari negara.

Masalahnya, guyuran bansos negara hanya sekedar mengganjal perut orang miskin dan pencitraan politik sehingga tidak mendongkrak daya beli, apalagi menciptakan disposible income yang berguna untuk melahirkan market demand bagi dunia usaha.

Sementara, kelompok kelas menengah yang terindikasi dari simpanan di perbankan yang nilainya di bawah Rp500 juta juga mengalami perlambatan. Daya beli masyarakat kelas menengah tertekan oleh tiga hal ini. Satu, kenaikan harga-harga barang-barang sekunder maupun tersier karena naiknya USD. Dua, kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen dan akan naik lagi menjadi 12 persen pada 2025. Tiga, kenaikan cicilan rumah dan mobil seiring dengan naiknya suku bunga.

Baca juga: APPI Pede Industri Multifinance Bakal Tumbuh Double Digit di 2024, Ini Pendukungnya

Menipisnya disposible income kelas menengah mengurangi permintaan terhadap barang sekunder dan tersier menurunnya. Wajar jika penjualan otomotif pun remuk. Penjualan mobil nasional yang merosot 4% menjadi 1,005 juta unit sepanjang 2023, pun berlanjut tahun ini. Total wholesales kendaraan roda empat selama lima bulan pertama 2024 anjlok 21 persen menjadi hanya 334.969 unit.

Selain menghadapi penurunan konsumsi dan permintaan pasar, dunia dunia usaha babak belur karena terbebani biaya akibat naiknya USD dan suku bunga yang lebih tinggi. Yang dilakukan industri manufaktur untuk meminimalisir kerugian adalah dengan mengurangi kapasitas produksinya dan memangkas jumlah karyawannya.

Melemahnya sektor riil dan ancaman kebangkrutan dunia usaha pada akhirnya mempengaruhi kinerja sektor keuangan seperti perbankan, multifinance, dan asuransi.

Lalu seperti apa rapor perusahaan-perusahaan multifinance dan asuransi di tengah musim kering akibat inflasi yang membakar, suku bunga yang tinggi, serta rupiah yang ambruk dan dikhawatirkan terus merosot hingga Rp17.000 per USD? Bagaimana nasib perusahaan multifinance dan asuransi yang tingkat kesehatannya pas-pasan setelah OJK melakukan reformasi pengawasan IKNB setahun terakhir? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 555 Juli 2024?

Galih Pratama

Recent Posts

AXA Mandiri Meluncurkan Produk Asuransi Mandiri Masa Depan Sejahtera

Suasana saat konferensi pers saat peluncuran Asuransi Mandiri Masa Depan Sejahtera di Jakarta. Presiden Direktur… Read More

2 mins ago

Bank NTT dan Bank Jatim Resmi Jalin Kerja Sama Pembentukan KUB

Jakarta - PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Nusa Tenggara Timur (Bank NTT) resmi menandatangani nota… Read More

20 mins ago

Ekonomi RI Tumbuh 4,95 Persen di Kuartal III 2024, Airlangga Klaim Ungguli Singapura-Arab

Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2024 tercatat sebesar 4,95 persen, sedikit melambat dibandingkan kuartal… Read More

2 hours ago

AXA Mandiri Hadirkan Asuransi Dwiguna untuk Bantu Orang Tua Atasi Kenaikan Biaya Pendidikan

Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan biaya pendidikan yang signifikan setiap tahun, dengan… Read More

4 hours ago

Sritex Pailit, Pemerintah Diminta Fokus Berantas Impor Ilegal dan Revisi Permendag 8/2024

Jakarta - Koordinator Aliansi Masyarakat Tekstil Indonesia (AMTI) Agus Riyanto mengapresiasi langkah cepat Presiden Prabowo… Read More

4 hours ago

Pemerintah Bahas Revisi PP 51 Terkait Upah Minimum Provinsi

Jakarta - Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyatakan pemerintah tengah membahas revisi Peraturan… Read More

4 hours ago