Jakarta–Perkembangan industri properti di Indonesia tertahan setelah Bank Indonesia (BI) mengetatkan aturan pembiayaan perumahan lewat kebijakan Loan to Value (LTV) pada 2012.
Pengetatan yang dilakukan bank sentral terhadap pembiayaan perbankan untuk sektor properti bahkan diperkuat melalui dibatasinya penyaluran kredit rumah inden. Pun penerapan LTV untuk rumah kedua dst.
Hal ini mau tak mau memukul pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) yang dampaknya terasa langsung bagi industri properti. Laju penjualan properti tertahan, kenaikan harga properti kemudian melambat. Ini memang tujuan akhir dari penerapan aturan LTV oleh BI, yang dilakukan sebagai bentuk kebijakan makroprudensial untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional.
Tak bisa dimungkiri bubble property yang meledak di Amerika Serikat dan menyebabkan krisis atau yang dikenal dengan subprime mortgage pada 2008 menberikan efek traumatis bahkan kepada negara-negara lain. Berkaca dari kasus di negeri Paman Sam itu, BI mencoba menahan kenaikan harga properti yang tengah booming.
Tertahannya kucuran kredit perbankan membuat sektor properti mencari cara lain untuk tetap mendorong penjualan. Salah satu cara yang ditempuh adalah penjualan unit rumah dan apartemen dengan skim kredit, yang notabene adalah ranah industri keuangan.
Di kala sektor properti, dalam hal ini pengembang atau developer menjalankan skema kredit secara mandiri, maka industri ini sedang menjalankan praktik shadow banking, yang bila terus dilakukan tanpa adanya pengawasan akan sangat berisiko bagi para konsumen.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Eko D. Heripoerwanto mengakui, pihaknya tidak bisa masuk lebih jauh mengawasi sektor properti sampai ke teknis penjualan.
“Itu bukan kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, karena tugasnya terhadap developer yakni hanya membina konstruksi,” ucapnya kepada Infobank di Jakarta, Kamis, 18 Februari 2016.
Apa yang dilakukan para developer dengan memberikan skema penjualan kredit secara langsung kepada konsumen pun mengusik industri perbankan yang memiliki kewenangan dalam memberikan pinjaman.
Ketua Komite Kredit Beragun Properti Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Joyce F. Rosandi mengatakan, bahwa industri perbankan menjalankan bisnis atau menyalurkan kredit secara highly regulated. “Jangan sampai developer melakukan hal yang tidak dikuasainya,” tuturnya dalam forum Property and Mortgage Summit 2016 yang diselenggarakan oleh Infobank Institute bekerjasama dengan Perbanas.
Sementara Direktur Kebijakan Makroprudensial BI, Agusman menyatakan, bank sentral siap menerima segala masukan dan uneg-uneg baik dari industri perbankan maupun dari developer dalam rangka menjaga stabilitas sektor properti demi perekonomian nasional yang sehat. (*) Dwitya Putra
Jakarta – PTPN Group bersama kementerian dan sejumlah institusi berkolaborasi meluncurkan program “Manis Swasembada Gula”.… Read More
Jakarta – Bangkok Bank sukses mengakuisisi 89,12 persen saham PT Bank Permata Tbk (BNLI) dari Standard Chartered Bank dan… Read More
Jakarta – PT PLN (Persero) dalam mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060 membutuhkan investasi mencapai USD700 miliar… Read More
Jakarta - PT Bank Permata Tbk (BNLI) atau Permata Bank memiliki peluang ‘naik kelas’ ke Kelompok Bank… Read More
Jakarta – Presiden Prabowo Subianto optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai level 8 persen dalam kurun waktu… Read More
Jakarta - Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin… Read More