Defisit Fiskal Picu Kewaspadaan Pasar, Ini Proyeksi DBS bagi RI

Defisit Fiskal Picu Kewaspadaan Pasar, Ini Proyeksi DBS bagi RI

Jakarta – DBS Group Research merilis laporan teranyar mengenai perkembangan kebijakan fiskal, inflasi hingga tarif resiprokal Donald Trump bagi perekonomian Indonesia.

Senior Economist Bank DBS, Radhika Rao menjelaskan, khusus perhitungan fiskal pada triwulan pertama 2025 terlihat cukup menantang.

Anggaran RI tetap mengalami defisit pada triwulan pertama 2025 sebesar -0,4 persen dari PDB, tergelincir ke zona merah lebih awal dari tahun-tahun sebelumnya, seperti pada Mei tahun lalu dan Oktober pada 2023.

Baca juga : Indef Soroti Masalah Fiskal yang Bikin Utang RI Makin Bengkak

Menurutnya, pendapatan kumulatif Januari-Maret 2025 dilaporkan turun 13,6 persen secara tahunan, membaik dari penurunan 21 persen pada Januari hingga Februari, tetapi masih menandakan dorongan yang lemah. 

“Hal ini dibandingkan dengan rata-rata kenaikan pendapatan sebesar 30 persen pada kuartal pertama dalam dua tahun terakhir,” katanya, dalam siaran tertulis dikutip Senin, 21 April 2025.

Ia menjelaskan, sebagian dari penurunan ini bertepatan dengan masalah-masalah yang timbul dari pengenalan platform baru yang disebut Coretax, mulai Januari tahun ini yang berkontribusi pada ketidakseimbangan dalam menangkap data yang relevan, di samping tanda-tanda moderasi dalam tren pendapatan/konsumsi (pengumpulan pajak penghasilan terus menurun dua digit). 

Baca juga : Rangsang Ekonomi, Bank Sentral China Longgarkan Kebijakan Moneter

“Secara tahunan, segmen siklikal seperti pendapatan bukan pajak tetap lemah sebesar -26 persen di bulan Maret, mencatat penurunan yang lebih dalam dibandingkan penurunan 4 persen di bulan Februari, akibat melemahnya pendapatan yang terkait dengan komoditas/sumber daya,” jelasnya.

Adapun total pengeluaran di triwulan pertama tahun 2025 naik tipis 1,4 persen secara tahunan di triwulan pertama tahun 2025 dari penurunan 7 persen di dua bulan pertama tahun ini.

Didorong Program Kesejahteraan

Hal ini, kata dia, kemungkinan besar didorong oleh pencairan program-program kesejahteraan yang lebih lambat (dengan program Makan Bergizi Gratis tampaknya telah selesai, sementara program-program lainnya masih dalam proses) dan juga eksekusi dari rencana pemangkasan anggaran.

Di sisi lain, beberapa asumsi makro dalam APBN 2025 kata dia perlu ditinjau kembali. Sebagai contoh, mengacu pada nilai tukar USD/IDR di level 16.100 per USD, sementara saat ini rupiah berada di level yang lebih lemah. 

“Harga Minyak Mentah Indonesia diasumsikan sebesar USD 82 per barel, sementara harga Brent saat ini sekitar USD 65 per barel. Proyeksi pertumbuhan dan inflasi juga kemungkinan memiliki beberapa perbedaan,” pungkasnya. (*)

Editor: Yulian Saputra

Related Posts

Top News

News Update