Oleh Siti Yayuningsih, Peneliti Eksekutif OJK Institute Otoritas Jasa Keuangan
PANDEMI COVID-19 yang terjadi sejak Maret 2020 sempat membuat industri perbankan terganggu. Beberapa indikator kinerja perbankan, seperti pertumbuhan kredit dan laba, mengalami penurunan selama masa pandemi.
Keadaan semakin riskan ketika bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed), menaikkan suku bunga acuan mulai 15 Juni 2022. The Fed mencoba mengendalikan inflasi AS yang mencapai 8,6% pada Mei, tertinggi sejak 1994. Pelaku ekonomi khawatir, kebijakan tersebut seperti overdosis, sehingga akan membawa AS ke jurang resesi lebih dalam.
Di lain sisi, produksi dunia sedang terganggu akibat perang di Ukraina. Kondisi perekonomian dunia yang mengalami stagflasi akibat melambatnya perekonomian, meningkatnya angka pengangguran, serta tingginya inflasi turut menjadi ancaman serius perekonomian dalam negeri. Jelang akhir 2022, ketidakstabilan makro-ekonomi menjadi kekhawatiran tersendiri bagi sektor keuangan. Bahkan, sebagian kalangan memprediksi akan terjadi risiko krisis 2023.
Lalu, seberapa resilient perbankan menghadapi kondisi makro-ekonomi, seperti perlambatan pertumbuhan, inflasi, dan krisis? Resilient atau kata bendanya resilience artinya daya pegas atau daya kenyal. Istilah yang diformulasikan pertama kali oleh Block (pada tahun 1950) ini diartikan sebagai kemampuan penyesuaian diri yang tinggi saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.
Untuk mengetahui kekuatan perbankan atas berbagai kondisi makro-ekonomi tersebut, dapat dilakukan analisis indikator pengelolaan risiko. Salah satu indikator terpenting adalah risiko kredit.
Penulis telah melakukan penelitian dengan menggunakan indikator risiko kredit berdasarkan data 2013-2020 dari 229 bank di negara maju dan negara berkembang. Adapun negara sampel diambil dari negara-negara di kawasan Eropa, negara Teluk dalam hal ini Middle East and North Africa (MENA), dan negara ASEAN.
Negara maju yang dijadikan sampel di dalam penelitian ini yaitu Jerman dan Inggris. Negara Teluk yang merupakan bagian dari MENA yang dijadikan sampel antara lain Bahrain, Uni Emirat Arab, Qatar, Arab Saudi, Oman, Yordania, Kuwait, Lebanon, dan Turki. Sementara, negara kawasan ASEAN yang dijadikan sampel pada penelitian ini yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina.
Penelitian menggunakan panel data untuk merefleksikan perilaku bank dalam menghadapi persaingan di tengah kondisi ketidakpastian perekonomian. Data cross countries ini dapat memperkuat analisis yang mungkin tidak terefleksikan dengan baik jika pengamatan menggunakan data single country saja.
Teori Persaingan
Penelitian berangkat dari teori mengenai persaingan antarbank di tengah menghadapi berbagai gejolak perekonomian di dunia. Terdapat dua teori utama dalam hubungan antara persaingan dan stabilitas, yaitu pandangan persaingan-stabilitas (stability) dan persaingan-kerapuhan (fragility).
Teori persaingan-stabilitas menekankan peningkatan stabilitas perbankan sebagai akibat dari meningkatnya persaingan. Suku bunga yang menurun sebagai akibat persaingan akan menurunkan tingkat kredit bermasalah yang pada gilirannya dapat meningkatkan stabilitas keuangan.
Di lain sisi, teori persaingan-kerapuhan menganggap bahwa kondisi persaingan yang berlebihan dalam sistem perbankan yang kurang terkonsentrasi akan mengikis kekuatan pasar bank. Bank kehilangan market power yang menyebabkan mereka mengambil kebijakan yang lebih berisiko seperti pada seleksi debitur dengan melonggarkan risiko kredit atau mengambil tindakan menurunkan cadangan permodalan.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pola hubungan persaingan-stabilitas, industri perbankan dalam 16 negara sampel tergolong dalam pasar-pasar tidak kompetitif (uncompetitive market) di mana beberapa bank dalam sebuah negara atau kawasan memiliki market power yang besar.
Size is Matter
Dalam penelitian ini, sampel bank dikelompokkan berdasarkan jenisnya yaitu bank konvensional dan bank syariah serta berdasarkan ukurannya yaitu bank besar dan bank kecil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran bank terbukti sangat penting dalam memengaruhi perilaku bank mengelola risiko kredit.
Bank besar terbukti menunjukkan perilaku pengelolaan risiko kredit yang lebih baik. Semakin besar ukuran bank maka kemampuan mengelola risiko kreditnya akan semakin baik.
Selain itu, hasil penelitian terhadap pengaruh faktor Islamic (bank syariah) menunjukkan bahwa pada kategori bank besar, bank syariah memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan bank konvensional. Artinya pada kelompok bank yang sama-sama besar, bank syariah terbukti less risky dibandingkan dengan bank konvensional. Bank syariah akan memiliki kemampuan tinggi dalam menunjang stabilitas sistem keuangan jika berukuran besar.
Risiko Kredit
Pada penelitian ini ditemukan bahwa faktor yang memengaruhi risiko kredit yaitu tingkat efisiensi biaya, profitabilitas, dan rasio kredit terhadap aset.
Tingkat efisiensi biaya memiliki hubungan negatif dengan risiko kredit. Bank dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi dapat mengurangi biaya operasional, menghemat sumber daya yang disisihkan untuk proses penyaringan dan pemantauan pemberian kredit sehingga bank punya kemampuan dalam menurunkan risiko kredit.
Berikutnya, profitabilitas, terbukti memiliki hubungan negatif terhadap kredit. Pada bank dengan tingkat profitabilitas tinggi ditemukan risiko kredit yang lebih rendah.
Kemampuan bank memperoleh laba memungkinkan bank untuk membangun sistem manajemen risiko yang baik, mampu meningkatkan sistem dan kualitas sumber daya manusia. Adapun bank yang mengalami kerugian cenderung memiliki risiko kredit yang tinggi karena tidak dapat memperbaiki sistemnya untuk mencegah atau menangani risiko kredit.
Sementara, rasio kredit terhadap aset merupakan proksi untuk menunjukkan bankability dalam mengonversi suatu aset menjadi kredit. Penelitian ini menemukan bahwa terhadap seluruh sampel, rasio tersebut memiliki pengaruh negatif terhadap risiko kredit secara signifikan, artinya semakin besar bankability maka akan membawa bank pada penurunan risiko.
Pada sampel bank besar, kenaikan rasio ini tidak memengaruhi peningkatan risiko kredit karena bank besar cenderung memiliki privilege dalam mendapat prime debitur dan teknologi serta sumber daya manusia sehingga mampu mengurangi risiko kredit. Sedangkan pada bank kecil, bank mampu menurunkan risiko kredit secara signifikan melalui peningkatan komposisi kredit terhadap aset. (*)
Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group HIDUP makin berat. Awal 2025 semuanya menjadi… Read More
Direktur Utama PT Jasaraharja Putera Bapak Abdul Haris, memaparkan kinerja JRP Insurance sepanjang tahun 2024… Read More
Hadirnya Fitur Cardless Withdrawal memberikan kemudahan bagi nasabah BRI maupun bank lain yang terintegrasi dengan… Read More
Jakarta - Sinar Mas Land melalui anak perusahaannya, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), secara… Read More
Jakarta – Rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk sekolah internasional, mulai Januari… Read More
Jakarta – Tantangan inflasi medis masih menghantui industri asuransi kesehatan di 2025. Pasalnya, Mercer Marsh Benefits… Read More