Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
KINI, beras tak hanya mahal, tapi juga langka. Daya beli masyarakat pun tampak “ngos-ngosan”. Ada kecenderungan masyarakat bawah sudah makan tabungan. Pelan tapi pasti, tabungan kelas receh melambat. Ini tanda-tanda hidup makin susah, apalagi terjadi penurunan pendapatan. Kesenjangan terjadi di banyak sektor.
Simak! Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), pada akhir 2023, menurunnya pendapatan tecermin dari laju pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) dan dalam arti sempit (M1) yang melambat. Kedua indikator tersebut merupakan proksi dari daya beli. Hidup jadi seret karena tidak ada pelumas uang.
Nah, sejalan dengan itu, menurunnya pendapatan berdampak pada pelemahan daya beli dan tentunya permintaan konsumen secara umum. Itu juga bisa dilihat dari penurunan keyakinan pada pembelian barang tahan lama pada kelompok menengah bawah.
Sejak Mei 2023 telah terjadi fenomena, mereka yang mempunyai tabungan kecil di bawah Rp1 juta sudah “mantab”, alias “makan tabungan”. Juga, untuk simpanan di bawah Rp5 juta dan Rp100 juta. Namun, jika melihat angka setahun (year on year/yoy) Desember 2023 mulai ada pergerakan pertumbuhan sekitar 5,7%. Sementara, untuk tabungan kelas di bawah Rp5 juta hanya tumbuh 4,6% dan 3,4% untuk tabungan kelas di bawah Rp100 juta.
Baca juga: Tabungan di Atas Rp5 Miliar Terus Menyusut, Tanda-Tanda Dunia Usaha ‘Sakit’?
Ada dua kemungkinan, naiknya tabungan kelas di bawah Rp1 juta itu akibat bantuan sosial (bansos) yang mulai diguyur pada akhir tahun, atau bisa jadi ekonomi sudah berdampak pada masyarakat bawah. Namun, jika melihat daya beli dan pendapatan masyarakat, bisa jadi kenaikan itu karena guyuran bansos menjelang Pemilu 14 Februari 2024 lalu.
Jangan ditanya gap antara penabung kecil dan penabung besar alias pemilik rekening jumbo. Tentu sangat jomplang. Kesenjangan tabungan ini membuat harga dana mahal di bank-bank. Para pemilik dana bisa “bertolak pinggang” kepada bank-bank dan buntutnya harga dana menjadi mahal, yang berdampak pada bunga kredit. Lebih jauh terjadi kesenjangan dalam memperoleh akses kredit.
Kesenjangan terjadi pada banyak hal dan sektor. Tidak hanya kaya-miskin, tapi juga kesenjangan kesehatan, pendidikan, tabungan, juga kesenjangan perdesaan-perkotaan. Pun dengan kesempatan kerja dan penguasaan akses bisnis. Namun, aneh-nya, tax ratio masih pada kisaran 10%-11%.
Melihat kondisi dan fenomena yang terjadi saat ini, Menteri Keuangan (Menkeu) RI mendatang jelas punya tugas berat. Ia tak hanya bertugas membuat ringan beban fiskal, tapi juga bisa berbagi meringankan beban psikologis dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Selama ini, antar-anggota KSSK telah terjalin komunikasi yang baik dan saling memahami tatkala terjadi gejolak.
Namun, apabila kabinet mendatang tanpa kehadiran Sri Mulyani Indrawati (SMI) di posisi Menkeu, tentunya akan terjadi penyesuaian dalam komunikasi di tubuh KSSK. Apalagi, Menkeu yang akan datang bisa jadi harus melakukan akomodasi terkait kebijakan makan siang gratis, yang bisa berdampak sangat serius pada fiskal dan pengeluaran untuk anggaran pertahanan yang sudah terbukti “boros”. Apa pun itu, BI harus dijaga tetap independen. Juga OJK yang harus kokoh dan independen.
Lalu, sosok seperti apa yang tepat mengisi pos Menkeu mendatang? Yang jelas, ia harus sekuat SMI di tengah tekanan fiskal yang tidak ringan dengan mengakomodasi janji-janji pemilu, seperti makan siang gratis dengan konsekuensi beban sebesar Rp450 triliun. Menkeu RI mendatang harus berani bilang “tidak” untuk program mercusuar dan boros anggaran. Ingat, posisi utang kita terus menggunung dengan bunga utang yang sudah lebih besar daripada biaya kesehatan.
Sementara, daya beli masyarakat masih “ngos-ngosan”, di mana masyarakat sudah masuk fase makan tabungan. Jangan sembarang memasang Menkeu – apalagi harus tunduk pada “libido” kekuasaan yang mulai sulit dibaca pasar.
Kita tidak ingin mengalami seperti yang dikatakan salah satu ekonom yang terkenal dengan teori mengenai hubungan antara kesenjangan ekonomi dan politik, yaitu Karl Marx. Marx berpendapat bahwa ketimpangan ekonomi antarkelas sosial akan memicu konflik politik yang pada akhirnya akan mengubah struktur sosial dan politik suatu masyarakat. Teori itu dikenal dengan sebutan Teori Konflik Kelas.
Baca juga: Tabungan Menipis, Masyarakat Ekonomi Menengah Bawah Mulai ‘Makan’ Tabungan Buat Belanja
Selain Marx, ekonom lain seperti Joseph Stiglitz dan Thomas Piketty juga telah mengemukakan pandangan serupa mengenai dampak kesenjangan ekonomi terhadap politik dan stabilitas sosial.
Semoga hal itu tidak terjadi pada pemerintahan mendatang yang dijagokan oleh para taipan negeri ini. Jadi, Menkeu mendatang harus benar-benar memikirkan pertumbuhan yang berkualitas agar tidak terjadi kesenjangan yang makin lebar.
Hari-hari ini bukan sekadar program makan gratis, tapi perlu program penciptaan lapangan kerja, agar daya beli tidak “ngos-ngosan”. (*)
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More