Jakarta – Amerika Serikat (AS) saat ini tengah dihantui risiko gagal bayar utang senilai US$31,46 triliun atau setara dengan Rp463.000 triliun.
Hingga kini, keputusan antara DPR AS, Senat, dan Presiden Joe Biden terutama dalam membahas kenaikan pagu utang federal yang belum memenuhi kata sepakat.
Pihak departemen Keuangan AS sendiri telah memperingatkan bahwa Pemerintah AS bisa kehabisan dana pada 1 Juni untuk membayar sejumlah pengeluaran.
“Proyeksi kami saat ini adalah bahwa pada awal Juni, suatu hari akan tiba ketika kami tidak dapat membayar tagihan kami kecuali Kongres menaikkan plafon utang, dan itu adalah sesuatu yang saya sangat mendesak Kongres untuk melakukannya,” ungkap Menteri Keuangan AS Janet Yellen, dikutip dari CNBC, 9 Mei 2023.
Menurutnya, apabila AS gagal dalam membayar utangnya, maka bisa mengakibatkan hilangnya pekerjaan dan suku bunga yang lebih tinggi untuk kedepannya.
Mengutip VOA Indonesia, Presiden Joe Biden dijadwalkan akan bertemu dengan Ketua DPR Kevin McCarthy dan para pemimpin lainnya pada Selasa (9/5).
Banyak pihak pun berspekulasi, apa yang akan terjadi jika Kongres tidak menaikkan atau menangguhkan batas utang tepat waktu?
Wendy Edelberg, rekan senior dalam studi ekonomi di Brookings Institution menilai, kemungkinan besar Departemen Keuangan akan mengikuti rencana darurat yang dibuat pada 2011 pada saat negara menghadapi situasi serupa.
Berdasarkan rencana ini, tidak akan ada gagal bayar obligasi pemerintah AS (surat utang Pemerintah AS) dan Pemerintah AS akan membayar bunga obligasi saat jatuh tempo.
“Saat obligasi pemerintah jatuh tempo, Departemen Keuangan akan membayar pokok obligasi dengan melelang obligasi baru dengan jumlah yang sama sehingga tidak meningkatkan keseluruhan stok utang yang dimiliki publik,” ungkapnya.
Namun, pembayaran lainnya kata dia, seperti kepada badan-badan pemerintah, penerima jaminan sosial, atau penyedia asuransi kesehatan Medicare yang kemungkinan akan ditunda kecuali Departemen Keuangan dapat memenuhi semua kewajiban yang jatuh tempo pada hari tertentu.
Penghentian kegiatan pemerintah atau shutdown tidak mungkin terjadi, meskipun pembayaran gaji karyawan federal dapat ditunda
Ekonom dari Moody’s Analytics Bernard Yaros menyatakan, situasi sekarang dengan krisis keuangan 2008, ketika Kongres gagal meloloskan rencana dana talangan besar untuk bank di mana kegagalan tersebut, memicu aksi jual di pasar saham yang menekan anggota parlemen.
Dan suku bunga akan melonjak, terutama imbal hasil surat utang pemerintah dan suku bunga hipotek, kata Yaros kepada AFP. “Itu akan menyebabkan biaya pinjaman yang lebih tinggi bagi konsumen, bagi korporasi,” katanya.
“Suku bunga jangka panjang hanya akan lebih tinggi secara permanen, terutama imbal hasil Surat utang Pemerintah AS, karena investor akan menuntut kompensasi atas risiko pelanggaran lain di masa depan,” tambahnya.
Dalam jangka panjang, nilai dolar juga bisa lebih rendah. Di sisi lain, rumah tangga atau bisnis yang gagal menerima pembayaran federal kemungkinan juga akan mengurangi pengeluaran jangka pendek karena kehilangan pendapatan. Sementara, kepercayaan konsumen dapat memburuk dan merugikan perekonomian. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra
Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2024 tercatat sebesar 4,95 persen, sedikit melambat dibandingkan kuartal… Read More
Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan biaya pendidikan yang signifikan setiap tahun, dengan… Read More
Jakarta - Koordinator Aliansi Masyarakat Tekstil Indonesia (AMTI) Agus Riyanto mengapresiasi langkah cepat Presiden Prabowo… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pekan lalu di periode 28 Oktober hingga 1… Read More
Jakarta - Kandidat Presiden Amerika Serikat, Kamala Harris dan Donald Trump, saat ini tengah bersaing… Read More
Jakarta - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah menggodok Peraturan Pemerintah (PP) perihal hapus tagih… Read More