Jakarta – Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memandang, perkembangan mata uang virtual (cryptocurrency) seperti bitcoin yang marak belakangan ini dikhawatirkan dapat memengaruhi stabilitas sistem keuangan. Hal ini dianggap menjadi tantangan tersendiri bagi stabilitas sistem keuangan nasional.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Ketua KSSK sekaligus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Selasa, 23 Januari 2018. Menurutnya, ke depan, KSSK akan mencermati sejumlah tantangan yang dapat memengaruhi stabilitas sistem keuangan seperti cryptocurrency.
“KSSK mencermati tantangan seperti salah satunya perkembangan cryptocurrency termasuk bitcoin yang dapat memengaruhi stabilitas sistem keuangan,” ujarnya.
Menurutnya, perkembangan mata uang virtual berbasis distributed ledger technology, seperti bitcoin memiliki potensi risiko yang besar, tidak hanya bagi penggunanya, tetapi juga terhadap stabilitas sistem keuangan. Sejumlah otoritas keuangan di beberapa negara juga melarang transaksi cryptocurrency.
“Memandang tantangan bagi stabilitas makroekonomi dan keuangan tersebut, KSSK akan senantiasa mendorong sinergi kebijakan dan reformasi struktural yang diperlukan untuk memelihara dan mengantisipasi stabilitas sistem keuangan,” ucapnya.
Penggunaan mata uang virtual sebagai alat transaksi hingga saat ini tidak memiliki landasan formal. Mengacu pada Undang-undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, ditegaskan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah.
Oleh karena itu, pemerintah tidak mengakui mata uang virtual sebagai alat pembayaran yang sah. Sehingga ditetapkan, bahwa mata uang virtual dilarang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah. Penggunaan mata uang virtual dikhawatirkan untuk transaksi ilegal, pencucian uang, dan pendanaan terorisme.
Hal ini sejalan dengan belum adanya otoritas yang mengatur dan mengawasi mata uang virtual tersebut. Kondisi ini membuka peluang terhadap penipuan dan kejahatan dalam berbagai bentuknya yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat. Mata uang virtual sangat berisiko untuk dimiliki dan diperjualbelikan sebab tidak memiliki underlying asset yang jelas.
Transaksi mata uang virtual yang spekulatif dianggap dapat menimbulkan risiko penggelembungan nilai (bubble) yang tidak hanya merugikan masyarakat, namun juga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Bahkan, beberapa analis kini menggap bahwa mata uang virtual layaknya skema ponzy yang sangat berisiko.
Seperti diketahui, Korea Selatan baru-baru ini membatasi pertukaran mata uang digital di Korsel. Selain Korsel, adalah Tiongkok yang juga mengatur ketat perdagangan mata uang virtual. Bahkan, bank-bank papan atas di India memutuskan untuk melakukan suspend dan pembatasan atas fungsi pada akun Bitcoin Exchange. Bank-bank tersebut diantaranya adalah State Bank of India (SBI), Axis Bank, HDFC Bank, ICICI Bank dan Yes Bank. (*)
Jakarta – Pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp20 triliun untuk kredit investasi padat karya pada tahun 2025. Anggaran… Read More
Jakarta – PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat per 20 Desember 2024, terdapat 22 perusahaan… Read More
Jakarta - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah meminta pemerintah melakukan mitigasi risiko… Read More
Jakarta - PT Jasa Marga (Persero) Tbk. mencatat sebanyak 1.170.098 kendaraan meninggalkan wilayah Jabotabek pada… Read More
Jakarta – Sejumlah komunitas otomotif mengapresiasi kinerja Satgas Nataru Pertamina dalam menjaga ketersedian pasokan bahan… Read More
Jakarta - Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) terus mendorong ekspor gula aren Indonesia yang semakin… Read More