Oleh Eko B Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
TAK ada satu pun ekonom, maupun pejabat otoritas perbankan, baik dari Bank Indonesia (BI) maupun dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang mengatakan bahwa kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) akan merembet ke Indonesia.
Faktanya, bank legendaris Credit Suisse, disusul Deutsche Bank menghadapi hari-hari yang berat karena longsornya harga sahamnya. Nama-nama besar bank tumbang ketika terjadi krisis, seperti Lehman Brothers di tahun 2008.
Kata mereka, bank-bank di Indonesia cukup kuat, baik modal maupun likuiditasnya banjir. Itu argumen yang dibangun. Kekuatan modal dan likuiditas bank-bank di Indonesia relatif kuat dan basah. Rata-rata capital adequacy ratio (CAR) perbankan nasional mencapai angka 24%-25%. Terlalu gendut modal, sehingga tahan terhadap krisis. Bahkan, likuiditas dengan rasio yang menunjukkan banjir likuiditas. Bank-bank basah kuyup likuiditas.
Jika melihat sebab musababnya, robohnya SVB tak lain karena mismatch. Selama pandemi COVID-19, SVB mempunyai arus likuiditas yang deras. Bahkan, simpanan yang masuk ke “brankas” SVB tiga kali lebih besar. Sementara, likuiditasnya sebagian besar ditaruh pada US T-Bill – surat berharga pemerintah AS. Tidak salah karena US T-Bill ini aman. Namun, karena Fed Fund Rate (FFR) naik, maka US T-Bill merosot.
Akibatnya SVB rugi hingga US$1,8 miliar dan tak mampu mengumpulkan modal. Dan, celakanya para nasabah pemilik uang mulai mengambil dananya. Pengambilan dana terjadi terus-menerus, sehingga SVB tak kuat lagi menanggung derita likuiditas. Salah satu pemicunya, sebelumnya para dewan direkturnya melego sahamnya.
Aksi jual sahamnya langsung menghabiskan nyata SVB. Publik makin panik dan nasabah mulai antre mengambil simpanan. Entah langsung terkait atau tidak, Credit Suisse yang punya masalah serius di jeroan keuangannya – harga sahamnya rontok. Ke level terendah sepanjang sejarah Credit Suisse berdiri sejak 167 tahun lalu (berdiri tahun 1856).
Jauh sebelum SVB bangkrut, Credit Suisse sejatinya pada Desember 2022, selama dua tahun berturut-turut mengalami kerugian. Harga sahamnya rontok 7% ke level terendah sepanjang sejarah (2/03/2023). Para deposannya yang menikmati suku bunga tinggi pun ramai-ramai menarik dananya.
Kondisi makin parah karena deposan menarik dana-nya ketika salah satu pemiliknya, Saudi National Bank, tak akan menyuntik tambahan modal. Tidak salah, karena Saudi National Bank sudah memiliki saham sebesar 10%. Tidak bisa tambah lagi. Sejak pernyataan Al Khudairy, bos Saudi National Bank, secara kontan harga saham Credit Suisse ambrol 24%.
Namun, keduanya telah melupakan kepercayaan dari deposan. Jika SVB karena eksekutifnya menjual sahamnya secara bersamaan. Lha eksekutifnya saja tidak percaya, apalagi penabung dan investor. Sejak itu, maka makin panjang antrean deposan mengambil duitnya. Juga, ketika bos Saudi National Bank, Al Khudairy, mengumumkan secara terbuka dan menjadi pembicaraan di media-media Eropa, sejak itu pula krisis makin parah.
Kepercayaan adalah surga bagi bank-bank. Sekuat apa pun bank, jika kepercayaan nasabah tergerus, maka akan ambruk juga bank itu. Pada 1997, Indonesia pernah mengalami krisis kepercayaan, ketika IMF mencabut 16 bank kecil, tanpa program penjaminan. Lalu, pada 2008, ketika krisis keuangan AS, merembet lewat pasar modal dan nilai tukar rupiah pun rontok. Pemerintah dengan gagah berani mengambil sikap untuk menyehatkan Bank Century. Berhasil, meski pengambil kebijakan menjadi bulan-bulanan politik.
Tahun 2020 – Indonesia juga hampir terkena badai krisis. Akibat pernyataan dari Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) waktu itu, mengenai adanya enam bank yang punya masalah dari hasil pemeriksaan. Dan, diumumkan ada enam bank bermasalah. Bank-bank yang tersiar pun “gelagapan” likuiditas. Ke sana kemari, tak dapat ditolong, karena BI, OJK, LPS, dan KSSK sepertinya saling sandera. Takut. Politisasi Bank Century membekas di benak pengambil keputusan.
Jadi, meski bank-bank di dalam negeri kuat dan basah likuiditas, tak perlu para pembuat kebijakan, politisi, mengeluarkan pernyataan atau komentar yang bisa membuat gaduh tentang kondisi bank. Jaga komentar. Sebab, sekali nasabah diliputi rasa tidak percaya terhadap bank dan berkembang menjadi kepanikan, maka sebesar apa pun bank akan runtuh. Jadi, perlu menjaga psikologis nasabah pemlik uang. Jangan bikin panik. Tahun-tahun politik yang sangat mungkin terjadi “kegaduhan” dengan menggunakan isu krisis bank.
Meski jauh dari kemungkinan terkena efek SVB, bukan tak mungkin hal yang sama bisa dialami bank-bank di Indonesia. Semua tergantung dari bagaimana menjaga kepercayaan nasabah. Mari kita saling menjaga, dan tidak memberikan komentar tentang bank secara serampangan hanya karena ingin populer atau menjadi calon presiden.
Jadi, para pejabat tidak perlu membuat pernyataan “celo-me-tan” yang mendiskon kepercayaan penabung. Dan, jangan over confidence atawa percaya diri berlebih. Sekecil apa pun yang meruntuhkan kepercayaan maka akan membawa dampak sistemis. Apalagi, perbankan Indonesia saling terkait di pasar uang.
Chief! Jangan terlalu percaya diri jika krisis bank-bank di Negeri Paman Sam tak ingin merembet ke Indonesia. Percayalah! Surga dan neraka ada di tangan pemilik dana.
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk pertama kalinya menggelar kompetisi Runvestasi pada… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi tanggapan terkait penutupan Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Self-Regulatory Organization (SRO), dengan dukungan dari Otoritas… Read More
Jakarta - Program makan bergizi gratis yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto dinilai memberikan dampak… Read More
Jakarta – PT Bank HSBC Indonesia (HSBC Indonesia) mencetak pertumbuhan dana kelolaan nasabah kaya (afluent) menembus… Read More
Jakarta – Ekonom Universitas Paramadina Samirin Wijayanto, menilai bahwa kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS 2024 membawa dampak… Read More