Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan, Lompatan Jauh dari OJK

Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan, Lompatan Jauh dari OJK

Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute

PROGRESIF. Itulah satu kata untuk menggambarkan isi dari Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan yang diluncurkan Heru Kristiyana, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), beberapa waktu lalu. Tidak hanya mengatur sektor perbankan semata, tapi juga memperbolehkan kolaborasi platform sharing antara sektor lembaga keuangan dan nonlembaga keuangan. Ini adalah sebuah terobosan besar. Semua itu agar terbentuk ekosistem digital yang menyeluruh, dan ini akan mampu mendongkrak efisiensi perekonomian masa depan. Sebab, sadar betul, syarat untuk memenangkan masa depan adalah membentuk ekosistem ekonomi digital yang kuat.

OJK meluncurkan Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan ini sepertinya sudah melihat jauh ke depan. Ada lompatan besar. Bahkan, OJK sangat yakin, ke depan, bank akan banyak berubah. Digitalisasi akan menjadi keniscayaan dan menjadi game changer menuju ekosistem baru yang lebih kolaboratif dan lebih efisien. Bisa jadi ini akan menjadi legacy “terbaik” OJK periode 2017-2022, khususnya bidang perbankan, selain bisa menjaga kondisi perbankan tetap sound dan resilience di tengah pandemi COVID-19.

Bank akan kehilangan bentuk aslinya seperti saat awal diciptakan pada abad ke-15. ”The world needs banking but it does not need bank,” demikian kata Bill Gates. Juga, pernyataan Brett King tentang Bank 4.0 – banking everywhere, never at bank. Lebih jauh Brett King pun berfatwa, “It’s all about the experience. Either bank removes friction…or someone else will….”

Intinya, para “suhu” itu hendak mengatakan bahwa bank akan berubah total. ”We are at the end of the digital beginning as companies reshape and retool for life in the new normal…” demikian tulis PricewaterhouseCooper’s (PwC) dalam sebuah kesempatan pada PwC’s Global Entertainment & Media Outlook, beberapa waktu lalu.

Menurut cetak biru (blueprint) yang diluncurkan OJK itu, setidaknya OJK memberi arah kebijakan atau peta jalan bagi bank ke depan. Nantinya diharapkan akan menjadi “bahan baku” pembentukan Peraturan POJK yang lebih “futuristik” dalam mengantisipasi perubahan drastis ekosistem perbankan ke depan. Saat ini ada dua kutub besar. Pertama adalah traditional bank, a fully vertically-integrated value chain, seperti yang ada pada bank sekarang. Cirinya, banyak kantor jaringan/cabang dan beranak pinak. Juga, aset yang besar dan lebih parah lagi pembagian fungsi bersifat “Silo”.

Yang kedua adalah new-age bank. Fully digital platform-based. Lean and agile. Cirinya, komunitas market place besar. Punya kemampuan untuk berkolaborasi, take risk dan open platform. Bisnis modelnya berbasis data dengan proses yang sederhana dan mengusung open platform.

Menurut Heru Kristiyana, ke depan, terkait dengan peta baru perbankan paling tidak ada tiga desain besar. Pertama, bank centered – bank sebagai super app dengan mengendalikan ekosistem sepenuhnya. Kedua, banking ecosystem – bank menjadi bagian dari ekosistem digital sebagai open banking dan terhubung dengan open application programming interface (API). Ketiga, platformication – bank menyediakan platform digital bagi seluruh mitra market place (plug and play).

Untuk itu, paling tidak ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu model bisnis, regulasi, data, dan teknologi. Hal ini penting karena memang tantangan juga tidak sedikit, seperti perlindungan dan pertukaran data pribadi, risiko strategis dan investasi IT. Juga, serangan siber, risiko kebocoran data, risiko penyalahgunaan teknologi, risiko pihak ketiga, infrastruktur jaringan komunikasi, dan regulatory framework.

Menurut Anung Herlianto, Direktur Eksekutif/Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, setidaknya ada empat pijakan dasar kebijakan sebagaimana tertuang dalam Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia yang menjadi landasan dari cetak biru transformasi digital perbankan ini. Satu, penguatan struktur dan keunggulan kompetitif, misalnya peningkatan modal, akselerasi konsolidasi dan penguatan kelompok usaha bank, penguatan tata kelola dan mendorong inovasi produk dan layanan.

Dua, akselerasi transformasi digital, seperti memperkuat tata kelola dan manajemen risiko IT, mendorong penggunaan game changer, mendorong kerja sama dan implementasi advance digital bank. Tiga, penguatan peran perbankan terhadap perekonomian nasional, seperti mendorong pembiayaan, kedalaman pasar finansial, mendorong perbankan sebagai katalis ekonomi syariah, juga meningkatkan akses dan edukasi keuangan. Lebih penting dari itu, mendorong partisipasi dalam pembiayaan berkelanjutan.

Empat, tegas Anung lagi dan ini tidak kalah pentingnya dalam mengimbangi masifnya pergerakan industri, yaitu penguatan perizinan, pengaturan dan pengawasan OJK. Dengan lifecycle teknologi dan perubahan ekosistem yang demikian masif, konsep rule-based berupa aturan yang ketat sudah banyak ditinggalkan regulator lain.

Dalam menyikapi revolusi digital ini, OJK mengubah haluan pengaturan lebih ke arah principle-based dan fasilitatif pada inovasi. Tentunya aspek prudensial tetap dipelototi. Ini langkah cerdas untuk merangkul perubahan ketimbang “keukeuh” pada cengkeraman melalui peraturan yang menjerat namun membiarkan industri diam di tempat. Pendekatan principle-based dilakukan melalui terobosan percepatan dan penguatan perizinan melalui pemanfaatan teknologi, meningkatkan pengawasan dengan pemanfaatan teknologi, dan memperkuat pengawasan terintegrasi berbasis konglomerasi atau bahkan ke depan berbasis ekosistem kolaborasi.

Nah, dalam cetak biru transformasi digital perbankan, menurut Anung Herlianto, setidaknya akan ada acuan yang lebih konkret akan arah digitalisasi perbankan ke depan. Ada enam elemen besar, yaitu data, teknologi, manajemen risiko, kolaborasi dan tatanan institusi serta customer.

Soal data, misalnya, ini menyangkut proteksi data – prinsip pengumpulan dan pemrosesan data. Sedangkan data transfer meliputi jenis data nasabah, pengaturan pertukaran data, dan para pihak. Terakhir menyangkut data governance, meliputi data governance dan principles dan operasional tata kelola data.

Sementara, menyangkut teknologi, meliputi tata kelola teknologi informasi, arsitektur teknologi, dan emerging technology and application. Yang terakhir ini bank didorong untuk mengadopsi emerging technology terkini.

Hal yang menyangkut manajemen risiko dan ini sangat penting ditekankan oleh Heru Kristiyana saat peluncuran blueprint, industri wajib hukumnya memperhatikan IT risk management (proses manajemen risiko tekonologi informasi), outsourching – prinsip alih daya teknologi dan proses tahapan alih daya. Dan, tak kalah pentingnya adalah cyber security (cyber security management, cyber risk assessment, cyber security exercise, dan cyber reporting).

Elemen berikutnya, yaitu kolaborasi, juga tak kalah penting dalam blueprint transformasi digital perbankan ini. Ada tiga bagian besar dalam kolaborasi ini, terutama hal-hal yang perlu diperhatikan. Misalnya, pemilihan partner dan onboarding, detail perjanjian komersial, autentikasi konsumen, perlindungan data, dan keamanan serta tanggung jawab.

Untuk platform sharing – super app, ada pernyataan provoking, apakah bank akan berperan sebagai super app atau justru bigtech yang akan mengambil alih? Platform sharing ini menjadi bagian yang menentukan titik perjalanan bank sekarang ini. Dan, kerja sama – infrastructure sharing bagi kelompok usaha bank. Dalam kaitan ini diatur mengenai distribusi penawaran produk. Juga, skema channeling, referral, dan sistem pembayaran.

Sedangkan menyangkut tatanan institusi, finance and investment – kesiapan investasi digital dan sumber pendanaan, misalnya. Soal leadership – menyangkut digital capability dan leadership capability. Juga, desain organisasi menyangkut workplace dan struktur. Tidak kalah pentingnya adalah culture dan talent. Jangan sampai bank digital tapi karyawannya dan nasabahnya tidak digital.

Dan, yang terakhir, yang juga tak kalah penting adalah customer. Ini menyangkut customer engagement, customer experience, customer insight, customer trust and perception dan customer with disabilities.

Sekarang  sejumlah bank sudah mengaku sebagai bank digital. Atau, akan bertransformasi diri menjadi fully digital bank. Pertanyaan besarnya; apakah truly digital, atau digitalisasi bank tradisional? Lalu, bagaimana mengukur “kadar” digitalisasi suatu bank? OJK telah menyiapkan alat deteksi (detektor). Namanya Digital Maturity Assessment for Bank (DMAB). Ada enam indikator untuk mengukur kadar digitalisasi: data, teknologi, manajemen risiko, kolaborasi, tatanan institusi, dan customer – sama persis dalam cetak biru yang menjadi acuan road to digitalization.

Hasilnya, rata-rata nilai tingkat kematangan digital bank di Indonesia terhadap nilai tingkat kematangan digital maksimal, rapornya belum memuaskan. Lihat saja, data DMAB, OJK Mei 2021, menunjukkan, data (57%), teknologi (50%), manajemen risiko (43%), kolaborasi (53%), tatanan institusi (46%), dan customer (50%). Pendeknya, dari penilaian itu, predikat sebagai bank digital belum memuaskan. Tapi, ini ‘kan baru permulaan. Tetap harus diapresiasi dan terus didorong. Landasan sudah disiapkan OJK, dan sekali lagi, ini lompatan besar. Paling tidak pokok-pokok yang tertuang dalam blueprint transformasi digital perbankan sudah memberi arah jalan ke depan. McKinsey malah menilai bahwa Indonesia merupakan negara tercepat yang melakukan adopsi digital. Bahkan, lebih cepat daripada Tiongkok dan Brasil.

Tampak terlihat OJK sudah mempersiapkan perangkat untuk menghadapi perubahan besar dalam tata perbankan ke depan. Dan, tidak salah jika blueprint  transformasi digital perbankan ini merupakan lompatan besar dari OJK. Tiga karakter cetak biru, yaitu principle-based, facilitative, dan living document, telah memberi jalan yang jelas. Ini merupakan a set of sail yang dipersiapkan OJK agar industri tidak terombang-ambing arah angin digitalisasi. Lebih terarah.

Tinggal kini – bank-bank yang perlu mempersiapkan, apakah hendak menjadi bank digital, atau menjadi super app, banking ecosystem, atau akan tetap menjadi traditional bank? Sekali lagi, cetak biru transformasi digital telah memberi ruang yang lebar bagi pengembangan  transformasi digital perbankan saat ini. Hal yang tidak biasa – OJK memberi ruang lebar kolaborasi, tidak hanya dengan sektor keuangan, tapi juga nonkeuangan untuk berkolaborasi. Ini sangat progresif dan melihat jauh ke depan.

Dan, ke depan akan lebih baik, jika pemerintah dan parlemen segera membuat UU Perlindungan Data dan UU Digital Ekonomi yang sudah berkembang. Indonesia merupakan negara dengan perkembangan ekonomi digital yang besar – tentu jangan sampai tidak bisa memanfaatkan momentum itu.

Itulah kenapa banyak investor asing masih berburu bank untuk dijadikan bank digital, dan bank skala kecil di Indonesia butuh inang untuk ke arah sana. Heru Kristiyana sekali lagi menegaskan bahwa masuk arena digitalisasi itu tidak murah dan tidak sekadar teknologi. Terbatasnya MODAL dan TALENT menjadi penyebab utama tersendatnya bank-bank untuk melakukan transformasi digital tersebut. Oleh karena itu, OJK terus mendorong bank-bank untuk melakukan penguatan permodalan, baik melalui upaya konsolidasi maupun pemenuhan modal inti minimum sebagaimana dipersyaratkan dalam POJK Konsolidasi Bank Umum.

Adanya dukungan MODAL dan investasi HUMAN CAPITAL ataupun TALENT yang memadai serta adanya sinergi yang terbentuk dari pelaksanaan skema konsolidasi diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bank untuk berinovasi serta berkompetisi di era digital. Mari sama-sama kita lihat, seberapa jauh lompatan digitalisasi perbankan ini….

Related Posts

News Update

Top News