News Update

Celios Nilai Pasar Karbon Tak Efektif dan Problematis, Ini Penyebabnya

Poin Penting

  • Pasar karbon dinilai tidak efektif dan problematis, karena hanya menjadi kompensasi bagi industri pencemar tanpa mendorong perubahan perilaku
  • Pola pikir mitigasi iklim bergeser menjadi profit-oriented, termasuk melalui pasar karbon dan CCS, yang menurut Bhima justru mentolerir kerusakan lingkungan dan mengabaikan prinsip kooperasi serta kepentingan masyarakat lokal.
  • Privatisasi iklim melahirkan proyek “hijau semu”, seperti hilirisasi nikel yang disebut tidak ramah lingkungan dan lebih menguntungkan industri.

Jakarta – Indonesia dalam beberapa waktu terakhir, dikenal sebagai salah satu negara dengan pangsa pasar karbon terbesar di dunia. Dengan ekosistem hutan hujan tropisnya yang lebat, Indonesia telah menarik banyak negara di dunia untuk membeli kredit karbon sebagai bentuk reparation (pengembalian kerusakan) dari aktivitas industri.

Namun begitu, konsep pasar karbon ini tidaklah lepas dari kritik. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara menyampaikan, sistem pasar karbon tidak memiliki manfaat esensial bagi keberlanjutan lingkungan.

Menurutnya, pasar karbon hanya menjadi semacam bentuk kompensasi bagi mereka yang membeli kredit karbon untuk terus merusak lingkungan, serta tidak dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat adat/lokal yang menjaga hutan itu sendiri.

“Selain tak laku, sudah dicoba berkali-kali dipasarkan di forum internasional setahun ini volume transaksinya masih kecil, pasar karbon ini juga problematis. Seolah mereka yang membeli, bisa terus mencemari lingkungan, tanpa melakukan perubahan atas dirinya sendiri,” ujar Bhima saat acara diskusi publik di Jakarta, Selasa, 18 November 2025.

Baca juga: Kontribusi Pasar Modal RI Hadirkan Diversifikasi Produk Investasi Berbasis Emas

Ia katakan, ada perubahan pola pikir dalam beberapa waktu terakhir, di mana mitigasi iklim yang seharusnya dilakukan secara bersama-sama atau mutual, tergantikan dengan pola pikir mencari profitabilitas lewat sejumlah cara yang “dilegalkan”, demi membuat industri tak ramah lingkungan terus berjalan.

“Langsung diubah menjadi, ‘yuk gimana caranya mendapatkan profitabilitas paling tinggi’. Soal masyarakat ada terdampak, itu urusan belakangan. Yang penting adalah perusahaan fosilnya tetap berjaya,” imbuhnya.

Contoh lainnya selain pasar karbon adalah sistem Carbon Capture and Storage (CCS) yang dilihatnya hanya sebagai sarana untuk mentolerir aktivitas pengrusakan lingkungan atau pelepasan karbon terus terjadi.

“Jadi, dianggap ngapain konservasi hutan, tak apa-apa nanti suatu saat hutan itu akan bisa di-offset dengan pasar karbon dan juga dengan penangkapan karbon. Jadi, pola-pola pikirnya adalah pola-pola pikir yang full profit oriented,” cetus Bhima.

Konsep-konsep mitigasi iklim yang memudarkan konsep kooperasi itu akhirnya membuat masyarakat lokal hanya menjadi objek, dan bukan subjek utama dalam transisi energi hijau.

Apalagi, dengan masuknya privatisasi iklim, telah menciptakan proyek-proyek yang seolah terlihat “hijau”. Namun, pada kenyataannya proyek-proyek tersebut sangat jauh dari prinsip pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Salah satunya adalah program hilirisasi nikel.

Ia menolak statement yang menyatakan bahwa hilirisasi nikel adalah proyek hijau, mengingat sebagian besar nikel yang dihilirisasi bukanlah untuk kendaraan listrik, tapi untuk aluminium. Lalu, masyarakat sekitar jugalah yang akan menanggung limbahnya.

“Tapi masyarakat sekitar tidak tahu tuh, dananya dari mana, tiba-tiba pabriknya ada di situ. Tiba-tiba dia digusur, konsesi lahannya diserahkan kepada pertambangan untuk nikel,” ungkapnya.

Baca juga: Terkendala Regulasi, PUM Andalkan Modal Internal untuk Garap Pasar Karbon

Ia pun menambahkan, sekalipun ada dana dari perusahaan, dana itu hanya diberikan kepada masyarakat sesekali dalam bentuk CSR.

“Bahkan, di Morowali lucu ya. Pemdanya curhat dikasih fasilitas rumah sakit oleh perusahaan dalam bentuk CSR, tapi dokter dan alat kesehatannya semua jadi tanggungan APBD,” bebernya.

“Kalau pun kasih hanya sekadarnya gitu ya, bukan komitmen serius. Jadi, lebih ke arah branding dibandingkan upaya untuk mitigasi,” tukas Bhima. (*) Steven Widjaja

Galih Pratama

Recent Posts

BEI Tekankan Kolaborasi dan Tanggung Jawab Bersama Bangun Masa Depan Hijau

Poin Penting PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menekankan kolaborasi lintas sektor (pemerintah, dunia usaha, investor,… Read More

35 mins ago

Balikkan Keadaan, Emiten PEHA Kantongi Laba Bersih Rp7,7 M di September 2025

Poin Penting PT Phapros Tbk (PEHA) mencetak laba bersih Rp7,7 miliar per September 2025, berbalik… Read More

2 hours ago

Unilever Bakal Tebar Dividen Interim Rp3,30 Triliun, Catat Tanggalnya!

Poin Penting Unilever Indonesia membagikan dividen interim 2025 sebesar Rp3,30 triliun atau Rp87 per saham,… Read More

2 hours ago

Hadapi Disrupsi Global, Dua Isu Ini Menjadi Sorotan dalam IFAC Connect Asia Pacific 2025

Poin Penting IFAC menekankan pentingnya kolaborasi regional untuk memperkuat profesi akuntansi di Asia Pasifik, termasuk… Read More

2 hours ago

BAKN DPR Minta Aturan Larangan KUR bagi ASN Ditinjau Ulang, Ini Alasannya

Poin Penting BAKN DPR RI mendorong peninjauan ulang aturan KUR, khususnya agar ASN golongan rendah… Read More

3 hours ago

IHSG Sesi I Ditutup Menguat ke 8.655 dan Cetak ATH Baru, Ini Pendorongnya

Poin Penting IHSG menguat ke 8.655,97 dan sempat mencetak ATH baru di level 8.689, didorong… Read More

4 hours ago