Ilustrasi: Penerimaan pajak negara. (Foto: Istimewa)
Jakarta – Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan insentif pajak yang diberikan kepada korporasi besar. Realokasi belanja perpajakan dinilai lebih bermanfaat untuk memperbaiki iklim investasi dan dunia usaha.
Peneliti Celios, Galau D. Muhammad menyatakan insentif pajak untuk konglomerat belum efektif mengakselerasi pertumbuhan ekonomi domestik maupun menciptakan lapangan kerja.
Menurut Galau, terdapat potensi realokasi belanja perpajakan yang dikhususkan bagi peningkatan iklim dan investasi sebesar Rp137,4 triliun.
“Upaya menggeser insentif pajak yang tak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja akan efektif menutup kebocoran anggaran mencapai Rp137,4 triliun,” kata Galau dalam Launching Riset, di Jakarta, Selasa, 12 Agustus 2025.
Baca juga: Aturan Pajak Terbaru: Emas Batangan Kena PPh 0,25 Persen, Ini Pengecualiannya
Menurutnya, pengakhiran insentif pajak pro konglomerat merujuk pada upaya reformasi kebijakan perpajakan yang selama ini memberi pengecualian, penangguhan, pengurangan, bahkan pembebasan pajak kepada korporasi besar tanpa justifikasi manfaat ekonomi yang jelas bagi masyarakat.
Adapun insentif pajak tersebut meliputi pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN), pengurangan pajak penghasilan (PPh), dan serangkaian perlakuan khusus melalui tax holiday dan tax allowance.
“Namun, terdapat celah insentif fiskal yang tidak tercatat seperti kesenjangan tarif antarsektor, negosiasi khusus (tax ruling), penundaan pemungutan pajak, dan pengecualian pajak atas bea ekspor dan impor tertentu,” jelasnya.
Galau menerangkan, hal tersebut mengakibatkan belanja perpajakan justru menjadi subsidi terselubung (hidden subsidy) karena serangkaian komponen belanja perpajakan memang dikhususkan untuk mendukung iklim dan dunia investasi.
Insentif pajak tersebut dinikmati secara regular oleh perusahaan hilirisasi nikel, pertambangan batu bara, dan perusahaan ekstraktif di sektor industri pionir dan strategis.
Baca juga: Pajak E-Commerce Bisa Bikin Harga Barang Naik, Begini Kata Bos Pajak
Lebih lanjut, Galau menilai, pemerintah perlu melakukan kategorisasi sektoral untuk mengukur dampak kebijakan belanja perpajakan dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan.
Kajian mendalam diperlukan untuk mengidentifikas sektor yang paling diuntungkan.
Dalam Laporan Belanja Perpajakan Tahun 2023, sudah terdapat analisis penerima manfaat insentif PPN per desil atau kelompok pengeluaran, maka analisis diinsentif perpajakan yang lain perlu dilakukan untuk mengevaluasi tingkat keadilan fiskal belanja perpajakan.
“Pemerintah tidak perlu mencabut semua jenis belanja perpajakan, namun cukup mengevaluasi dan menutup skema belanja perpajakan bagi bisnis dan industri skala besar yang memiliki dampak merusak,” ungkapnya. (*)
Editor: Yulian Saputra
Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More
Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More