Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
RHOMA Irama sepertinya mendahului zaman. Pendangdut kesohor Indonesia ini di tahun 1980-an menciptakan lagu “Indonesia” – yang lebih terkenal dengan liriknya; ”yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Lagu yang direkam Yukawi Studio pada tahun 1980 dan dirilis tahun 1981 itu merupakan album ke-11 dari Soneta Group.
Empat puluh tahun kemudian, lagu kritik sosial tentang kesenjangan ini kembali relevan di tahun 2021 ini. Kesenjangan simpanan makin lebar selama enam tahun terakhir ini. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang diolah Infobank Institute menunjukkan, ada tren yang pasti porsi simpanan di atas Rp5 miliar makin gendut.
Lebaran tahun 2021, atau 14 bulan sejak krisis akibat pandemi COVID-19, data menunjukkan, lebih dari separuh (lebih dari 50%) simpanan di 100 bank umum dan ribuan BPR di Indonesia ternyata merupakan simpanan di atas Rp5 miliar. Jumlah yang menyimpan juga kian besar. Jadi, yang punya simpanan di atas Rp5 miliar kian banyak, sekaligus nominalnya kian bongsor.
Sementara, enam tahun terakhir ini pertumbuhan kredit makin kempis. Bank-bank makin tidak lancar dalam mengucurkan kredit. Pertumbuhan kredit (year to year/yty) Maret 2021 minus 3,77%, dan meski secara year to day (ytd) naik tipis 0,27% – pertumbuhan kredit masih membutuhkan “viagra” agar disfungsi intermediasi makin kuat.
Dana naik, tapi kredit rendah. Itu artinya peran intermediasi bank-bank makin kecil. Posisi loan to deposit ratio (LDR) bank tampak makin aman. Meski likuiditas membanjiri “brankas” bank-bank, sesungguhnya bank punya posisi tawar rendah dengan pemilik dana Rp5 miliar.
“Surga di Telapak Kaki” Nasabah Kaya
BI-7 Day (Reverse) Repo Rate sudah turun menjadi 3,5%. Atau, sudah 100 basis point (bps) sejak setahun lalu. Namun, respons bank-bank untuk menurunkan suku bunga kredit ini juga ada leg. Hal ini bisa jadi bank-bank juga sedang menyesuaikan dengan para deposan besarnya. Suku bunga counter rate terkadang juga tidak sama dengan bunga premium rate yang diberikan kepada nasabah kaya.
Surga ada di telapak kaki pemilik uang besar. Sebaliknya, surga di telapak kaki bankir jika menghadapi pemilik uang receh, atau debitur kecil. Hukum alam. Dan, sejalan dengan itu, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Simpanan yang besar kian membesar.
Silakan simak baik-baik. Data Infobank Institute yang diolah dari data LPS menunjukkan, secara nominal porsi simpanan di atas Rp5 miliar mencapai lebih 50,01%. Ini baru pertama kali sejak sejarah kemerdekaan perbankan Indonesia. Padahal, pada awal tahun 2021 (Januari) porsinya masih 47,75%.
Pada akhir tahun 2015 lalu, porsi simpanan di atas Rp5 miliar baru pada kisaran 43,20%. Lalu, terus bergerak naik selama lima tahun berturut-turut dan akhirnya pada Maret 2021 ini dominasi lebih dari 50% simpanan di atas Rp5 miliar terjadi (Rp3.445 triliun) dari Rp6.889 triliun.
Lebih jauh, jumlah pemilik uangnya juga meningkat menjadi 111.412 penabung. Atau, naik dibandingkan dengan pada awal tahun 2021 yang sebanyak 109.651 penabung. Selama tiga bulan sudah lahir orang kaya baru lebih dari 1.500 penabung. Hal ini tentu menggembirakan, tapi sebaliknya pemilik uang di bawah Rp5 miliar juga makin banyak, meski kantongnya makin kecil secara rata-rata.
Jika hanya membatasi simpanan di atas Rp2 miliar (batas atas) penjaminan LPS, maka sudah delapan tahun lalu menjadi dominan. Sampai dengan saat ini porsinya sudah lebih dari 57%-59%. Ini artinya, jumlah dana yang dijamin pun makin sedikit dari total simpanan yang jumlahnya (Maret 2021) mencapai Rp6.889 triliun.
Apa yang terjadi? Uang menghasilkan uang dalam enam tahun terakhir ini terjadi. Itu bisa berarti pula mesin liberalisasi sudah berjalan sempurna. Namun, di lain sisi – yang perlu dipikirkan; bagaimana simpanan masyarakat ini bisa dicairkan menjadi kredit kembali. Atau, paling tidak para pemilik uang ini membelanjakan uangnya untuk usaha, atau untuk apa saja.
Sayangnya, lebaran tahun 2021 ini, yang belanja, yang menghambur-hamburkan uang di tengah pandemi COVID-19, adalah mereka yang justru tabungannya kecil. Para pemilik uang “gede” lebih rasional dan lebih nyaman menyimpan uangnya di bank. Padahal, kelompok Rp5 miliar ini yang justru berbelanja apa saja.
Namun, dominasi simpanan di atas Rp5 miliar ini juga mempunyai nilai tawar tinggi terhadap bank. Pemilik uang ini justru lebih suka minta suku bunga lebih tinggi. Tak peduli suku bunga BI, BI-7 Daya (Reverse) Repo Rate, sudah turun.
Kita semua berharap simpanan masyarakat yang meningkat adalah baik, dan akan lebih baik jika mencair dalam bentuk kredit atau untuk meningkatkan kapasitas usaha – sehingga daya beli kelompok menengah meningkat dan akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Apakah dana-dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ini secara tidak “sengaja” masuk ke brankas bank? Jika melihat pendorong pertumbuhan ekonomi, sepertinya daya beli masyarakat perlu doping lagi.
Di lain sisi, jujur, dominasi simpanan di atas Rp5 miliar, yang terus membesar ini, memberi “kegelisahan” sendiri terhadap kesenjangan yang ada, dan kini ketimpangan simpanan. Boleh jadi perlu digaris bawahi dan diantisipasi makna lagu Si Raja Dangdut ini; ”yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Siapa sebenarnya yang menikmati kue pembangunan? (*)
Jakarta - Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin… Read More
Jakarta - PT Mandiri Sekuritas memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang stabil pada kisaran… Read More
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Jakarta - Kapolda Sumbar Irjen. Pol. Suharyono menjelaskan kronologis polisi tembak polisi yang melibatkan bawahannya,… Read More
Jakarta – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung mendukung langkah PLN… Read More