Headline

Catatan HUT Ke-46 Infobank: Semoga Tidak Terjebak “Omon-omonomic”

Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group

PEMERINTAHAN Prabowo Subianto, belum genap 100 hari. Namun beberapa program sudah mulai terlihat, salah satunya program makan bergizi gratis (MBG) sudah berjalan. Namun ada pekerjaan rumah selama hampir 46 tahun perjalanan ekonomi Indonesia, yaitu soal ketimpangan, kebocoran anggaran, korupsi dan pendalaman sektor keuangan yang tak tetap menjadi soal penting yang belum terjawab.

Era Soehartonomic, Habibienomic, Abdurahmanomic, Meganomic, Yudhoyonomic, Jokowinomic tetap meninggalkan tiga soal penting itu, ketimpangan, kebocoran anggaran dan korupsi dan masih dangkalnya sektor keuangan – sehingga mudah goyah jika terjadi sedikit guncangan krisis dari pasar global. Bahkan, belakangan setelah Jokowinomic beban itu bertambah dengan beban utang yang membengkak.

Pidato Presiden Prabowo saat pelantikan sungguh luar biasa. Ada optimisme yang besar dalam membangun Indonesia. Tidak mudah untuk mencapai pertumbuhan 8 persen dengan warisan fiskal yang tenggelam dalam “lumpur” utang. Fiskal yang terbatas membuat banyak “akrobat “untuk menjalankan roda pemerintahan.

Saat mendengar pidato Prabowo itu, ekspektasi masyarakat sangat tinggi. Prabowonomic yang oleh Infobank terjemahkan sebagai jalan tengah liberalisasi dan sosialis. Atau, pendek kata, mendorong swasta besar untuk tumbuh namun tidak meninggalkan usaha kecil. Kemandirian energi dan pangan merupakan cara yang akan dicapai.

Namun ada sedikit keraguan ketika muncul nama-nama bak “KW3” dalam Kabinet Merah Putih, selain Kabinet “Obesitas” – terlalu gemuk dengan kementerian baru, maka efektivitas birokrasi makin panjang dan tumpang tindih. Misalnya, sampai menjelang 100 hari, masih ada kementerian yang harus rebutan anggaran dan nomenklatur.

Pekerjaan berat Prabowo adalah memastikan visinya dapat dijalankan oleh para pembantunya. Bukan sekadar keinginan Bapak Presiden yang sering diucapkan para menterinya, tapi aksi nyata tentang kebijakan yang akan diambil atau diambil. Misalnya, menyangkut pembangunan 3 juta rumah per tahun, atau 15 juta rumah selama 5 tahun, bagaimana memulai dan kebijakan apa yang akan diambil.

Baca juga: Pemerintah Tarik Utang Rp556,6 Triliun Sepanjang 2024

Warisan Utang, Berat!

Sementara beban keuangan negara juga berat. Kondisi keuangan negara sekarang, bayar bunga utang dengan utang baru. Sudah seperti skema ponzi. Tahun 2025 ini, Pemerintah kembali menarik utang luar negeri sebesar Rp128,1 triliun, atau 96,1 persen dari Rp133,3 triliun. Itu dilakukan dalam rangka pembiayaan utang pada APBN 2025. Meski rasio pinjaman dengan Produk Domestik Bruto (PDB) moderat pada angka 38,68 persen. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan tentang likuiditas keuangan negara, atau soal cash flow. Menurut catatan Biro Riset Infobank, jumlah utang RI Rp8.338 triliun.

Sementara utang jatuh tempo tahun 2025 mencapai Rp800,33 triliun, naik nyaris 2 kali yang sebesar Rp434,29 triliun. Sedangkan tahun ini beban APBN untuk membayar bunga utang Rp434,29 triliun. Jika defisit diperlebar 2,45-2,82 persen, beban bunga utang bisa tembus Rp600 triliun.

Jika melihat besarnya penerbitan Surat Utang Negara (SUN) – yang dikaitkan dengan jumlah utang jatuh tempo, dan bunga pinjaman dapat dipastikan bahwa untuk membayar dengan cara menerbitkan utang baru. Gali lubang tutup lubang. Hal ini tak menjadi masalah jika ada stabilitas, misalnya pembeli SUN. Tapi, hal itu juga perlu diperhatikan mengenai besarnya yield yang tentu lebih berat.

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen, meski untuk barang mewah, boleh jadi Pemerintah tampak egois dan hendak mengamankan keuangan negara dari tekanan utang dan program-program pemerintah. Sejumlah kementerian juga sedang meminta anggaran. Birokrasi yang gemuk tidak menjamin tanpa kebocoran. Nomenklatur yang masih tarik ulur membuat pekerjaan pemerintah tidak efektif.

Jika menggunakan pendekatan dari Soemitro Djojohadikusumo, Begawan ekonomi Indonesia tentang Icremental Capital Output Ratio (ICOR) ini di akhir tahun 1980-an. Tidak efisiennya ekonomi bisa dilihat dari ICOR yang menurut data yang diolah Biro Riset Infobank mencapai 6,9 di tahun 2023. Pada tahun 2000-2024 mencapai 5,7. Dari tahun ke tahun ICOR terus naik. Artinya, semakin tinggi ICOR semakin buruk, dan tidak efisien atawa diterjemahkan terjadi kebocoran.

Jika dibandingkan dengan Singapura yang ICOR-nya 3-4, dan Malaysia pada kisaran 4-5, maka ICOR di Indonesia lebih tinggi. Nah, jika membandingkan Singapura, atau ideal ICOR pada angka 3-4, maka di Indonesia telah terjadi kebocoran mencapai 70-72 persen. Ini mengerikan sekali. Tidak efisien dan bocor ke mana-mana.

Nah, tingkat ICOR sebesar itu jika dikaitkan dengan APBN yang mencapai Rp3.121 triliun, maka telah terjadi ketidakefisienan atau bisa dibilang kebocoran 70 persen, maka duit-duit APBN yang mubazir sebesar Rp2.250 triliun. Jika ICOR bisa ditekan, maka efisiensi ekonomi akan terjadi. Kenyataan inilah yang akan dihadapi Pemerintahan Prabowo-Gibran. Kebocoran besar itulah yang harus dicegah oleh Pemerintah.

Baca juga: Genjot Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Pemerintah Bidik Investasi Rp13 T di 2025-2029

Jangan Kehilangan Momentum

Korupsi di mana-mana. Publik berharap, ketika Kejaksaan Agung menemukan uang tunai sebesar Rp920 miliar, plus 51 kg emas dari rumah Zarol Ricar, pejabat Mahkamah Agung. Menurut pengakuan, uang yang ditemukan itu bersumber dari “mengurus perkara” yang rata-rata 5 persen per kasusnya. Itu artinya, bisa jadi yang diurus melibatkan uang setidaknya Rp20 triliun. Itu dari satu pejabat. Menurut istilah Mahfud Md, itu bagian dari mafia peradilan.

Harusnya, Presiden Prabowo menjadikan penemuan uang yang hampir satu triliun itu dijadikan momentum dalam pemberantasan “jual beli” perkara. Tidak dibiarkan memuai diurus di pengadilan. Juga, putusan hakim yang obral diskon untuk keputusan korupsi. Infobank berharap pemberantasan korupsi bukanlah sekadar “omon-omon”.

Jadi tak heran, kebocoran anggaran dan korupsi dapat menyebabkan kesenjangan yang terus lebar. Menurut temuan Center of Economic and Law Studies (CELIOS), lembaga riset independen, 50 orang terkaya (Forbes) di Indonesia kekayaannya setara dengan 50 juta penduduk Indonesia. Miris. Juga, bisa dilihat pada kepemilikan tabungan.  

Tidak hanya itu, di Indonesia sedang terjadi ketimpangan pada akses pendidikan, kesehatan, pendapatan dan kesempatan. Terakhir adalah akses politik. Dinasti politik dan orang kaya yang punya kesempatan besar duduk dalam posisi pejabat, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sementara penciptaan lapangan kerja juga mulai sempit. Bahkan, di beberapa industri, seperti industri tekstil sudah merumahkan karyawan. Banyak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga menurunkan daya beli kelas menengah. Sayangnya, Prabowo masih mempertahankan menteri-menteri yang tidak mampu menciptakan lapangan kerja. Kompromi politik telah menghancurkan peluang ekonomi.

Baca juga: Pengamat Sebut Kebijakan Bahlil Mencederai Komitmen Presiden Prabowo

Jangan Hanya Omon-Omon

Dalam perjalanan Infobank selama 46 tahun, ada persoalan serius yang jarang dibahas dalam diskusi publik. Apa itu? Dangkalnya keuangan Indonesia atawa financial deepening. Rasio kredit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan, jika dibandingkan dengan Soehartonomic yang mencapai 61 persen dengan zaman Jokowinomic yang mencapai 38-39 persen. Tidak berubah banyak. Pendalaman keuangan ini menjadi penting untuk menunjukan daya tahan sektor keuangan dan sekaligus peran sektor perbankan makin besar.

Itu artinya pula pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak dibiayai oleh utang, karena APBN juga digerakkan dengan utang. Pertumbuhan kredit berapa pun, apakah 5 persen atau 12 persen, selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi tetap berkisar 5 koma persen. Hal ini berbeda pada era sebelum Jokowinomic.

Untuk itu, Presiden Prabowo membutuhkan tambahan mesin, seperti Menteri Urusan Penerimaan Negara dan Danantara (Superholding yang membawahi BUMN) setidaknya harus segera dibentuk. Jangan sampai visi Presiden langsung dapat dieksekusi. Tidak sekadar keinginan dan omon-omon semata. Jangan pula akhirnya menjadi “Omon-omonomic”. Sebab, John Maynard Keynes, pernah menelurkan teori ekspektasi — yang menyebutkan adanya perbedaan antara pembicaraan (harapan) dengan kenyataan.

Baca juga: Pak Presiden Prabowo! Jadi Nggak Sih Bentuk “Super Holding” Danantara

Saatnya mengeksekusi program. Jangan sampai Indonesia di tahun 2040 akan menjadi negara gagal menuju negara maju karena banyaknya pekerjaaan rumah yang tak terselesaikan, yaitu ketimpangan, kebocoran dan korupsi, beban utang dan dangkalnya sektor keuangan. Jangan terulang kembali, kemiskinan masyarakat mental bansos dijadikan kembali untuk kepentingan politik.

Sudah waktunya, jangan lagi beternak orang miskin. Salah satu contoh beternak orang miskin yang terlihat dengan bagi-bagi buku dan susu kemasan di setiap acara hanya untuk disebut orang baik dan mengundang masyarakat untuk datang. Pemerintah tugasnya membuat kebijakan untuk peningkatan ekonomi masyarakat dan daya belinya meningkat.

Bahwa Prabowonomic itu adalah mendorong swasta besar untuk tumbuh dan tidak meninggalkan keadilan ekonomi bagi masyarakat yang sedang hidup susah. Bahkan, jangan sampai ekspektasi besar publik yang dibangun ketika mendengar pidato pelantikan menjadi “Omon-omonomic”.

Jika tidak ingin terjebak pada “omon-omonomic, maka Prabowo di 100 hari ini harus mengevaluasi kembali tentang “pembantu-pembantunya” yang sulit menerjemahkan kebesaran visi dan misi Prabowo yang besar. Hentikan omon-omon, mulai bekerja dengan kebijakan yang market friendly dan berpihak kepada keadilan ekonomi.

Dirgahayu ke-46 Infobank.

Galih Pratama

Recent Posts

Pengelolaan Keuangan Daerah Transparan dan Akuntabel Wujudkan Good Governance

Jakarta – Pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel menjadi kunci dalam mewujudkan tata kelola… Read More

6 hours ago

Besok, 3 Emiten Ini Bakal ‘Berdansa’ di Lantai Bursa

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) besok, 13 Januari 2025 akan kedatangan tiga perusahaan… Read More

9 hours ago

PLN Tegaskan Komitmen Zero Harm Zero Loss di Peringatan Bulan K3 Nasional 2025

Jakarta - PT PLN (Persero) menjadikan peringatan bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional 2025… Read More

12 hours ago

IHSG Turun ke Level 7.088 Sepekan, 5 Saham Ini Pemicunya

Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama sepekan pada periode 6-10 Januari 2025 mengalami… Read More

13 hours ago

Waskita Karya Garap Bendungan Rukoh Senilai Rp1,7 Triliun di Aceh

Jakarta - PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) saat ini menggarap satu dari enam proyek… Read More

13 hours ago

Intip Pergerakan Saham Indeks Infobank15 dalam Sepekan

Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Jumat lalu (10/1) berhasil ditutup dengan… Read More

13 hours ago