Analisis

Catatan Awal 2019: Kerawanan Likuiditas dan Konsolidasi Bank

Oleh: Eko B. Supriyanto

Awal tahun baru saja dimulai. Tidak ada peristiwa penting pada akhir tahun lalu, kecuali masih dag-dig-dug, siapa Presiden RI terpilih 2019. Ada yang menyebut Jokowi masih akan terpilih lagi. Namun, ada yang terus bertanya, apakah hasil rating akhir 2019 yang ma-sih menempatkan Jokowi-Ma’ruf Amin masih unggul itu tetap akan unggul?

Siapa pun presidennya, masa kampanye yang delapan bulan itu dinilai terlalu lama. Dunia usaha masih terus wait and see.  Bank-bank memang sedang mencari likuiditas akibat ekspansi yang terlalu agresif pada 2018 lalu.

Berikut ini catatan awal 2019 yang menjadi titik perhatian bagi sektor perbankan. Bank-bank terus menjaga likuiditasnya dengan menaikkan suku bunga, dan tentu akan memengaruhi persaingan bank. Bank besar dan bank menengah (bank umum kegiatan usaha/BUKU 3 dan BUKU 4) akan menjadi pemenang dalam perebutan likuiditas.

Bank-bank penghuni BUKU 1 dan BUKU 2 akan menaikkan suku bunga lebih tinggi lagi. Itu artinya, margin bank-bank kelom-pok BUKU 1 dan BUKU 2 akan tergerus lagi. Pertanyaannya, sampai berapa lama bank-bank ini akan kuat bertahan ketika net interest margin (NIM), return on assets (ROA), turun dengan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO) yang mendaki. Dan, jika BO/PO dikurangi atau efisiensi dilakukan, bank-bank tersebut akan menda-pat-kan sumber daya manusia (SDM) dengan kualitas kelas 3 atau bahkan kelas 4.

Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), satu-satunya kekuatan bank penghuni BUKU 1 dan BUKU 2 adalah masih memiliki capital adequacy ratio (CAR) yang relatif tinggi sehingga otoritas tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, jika dibuat semacam stress test dengan asumsi suku bunga 1%-2% di atas suku bunga pasar (special rate), setiap tahun akan terjadi kerawanan likuiditas dan profitabilitas.

Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lemba-ga Penjamin Simpanan (LPS), termasuk Bank Indonesia (BI) lewat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), membuat semacam task force percepatan konsolidasi. Ada baiknya OJK meminta bank-bank besar untuk membantu konsolidasi. Caranya, bank-bank besar menerbitkan obligasi, lalu obligasi itu dibeli oleh LPS. Dananya untuk mengakuisisi bank-bank ini dalam rangka konsolidasi.

Sedia payung sebelum hujan. Dari sisi waktu memungkinkan karena kondisi bank masih sound. Jangan sampai kondisi bank sudah kalang kabut, baru kita melakukan konsolidasi. Belum lagi kena sodok dari bank-bank yang dimiliki pihak asing yang sudah lebih dulu melakukan konsolidasi, seperti Bank Danamon dan Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) yang keduanya dimiliki Jepang.

Ada baiknya OJK memikirkan langkah itu daripada harus sibuk mengurus Bank Wakaf—yang semua tahu itu lebih banyak gerakan politik daripada gerakan ekonomi. Apalagi, musim pemilu sebentar lagi datang. Sudah waktunya kita semua berpikiran besar dengan kembali pada tugas utama OJK mengawasi sektor jasa keuangan yang selama ini diamanatkan sebagai lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen.

Jika lebih kritis lagi, dari mana sumber dana Bank Wakaf? Bagaimana jika yang menyumbang itu adalah pemilik bank atau asuransi, multifinance dan kebetulan  banknya atau asuransi dan multifinance-nya bermasa-lah; apakah bisa independen dan tegas dalam mengawasi?

Sekali lagi, dorongan Infobank agar OJK melakukan percepatan konsolidasi perbankan ini bukan bermaksud apa-apa. Namun, sudah semestinya OJK melakukan hal-hal yang lebih besar, terutama kepada perbankan yang menjadi market share terbesar pasar keuangan. Konsolidasi sektor asuransi dan multifinance juga penting.

Sering kita mendengar, jika ada lembaga keuangan bermasalah, pejabat OJK lebih enteng mengatakan, itu kerjaan periode OJK sebelum-nya. Sikap itu bukanlah sikap profesional, tapi lebih pas sebagai perilaku politisi.

Catatan awal tahun ini, persoalan likuiditas, tekanan non performing loan (NPL)—karena credit at risk perbankan masih di atas 10%, maka risiko kredit masih tetap besar. Apalagi, dunia cepat bergoyang ke kiri dan ke kanan. Untuk itu, bank-bank harus sedia payung sebelum hujan.  Sudahkah dibuat peta jalan perbankan ke depan di era industri 4.0?  Sudahkah dibangun peta jalan asuransi dan multifinance yang mulai berjatuhan?

Awal tahun ini masih tetap wait and see, masih sibuk dengan urusan mencari presiden. Bank-bank dan dunia usaha menunggu “hajatan besar” itu dulu. Kondisi tak lebih baik daripada tahun lalu. Kerawanan likuiditas masih tetap ada.

Penulis Pimpinan Redaksi InfoBank

Risca Vilana

Recent Posts

Evelyn Halim, Dirut SG Finance, Raih Penghargaan Top CEO 2024

Jakarta – Evelyn Halim, Direktur Utama Sarana Global Finance Indonesia (SG Finance), dinobatkan sebagai salah… Read More

9 hours ago

Bos Sompo Insurance Ungkap Tantangan Industri Asuransi Sepanjang 2024

Jakarta - Industri asuransi menghadapi tekanan berat sepanjang tahun 2024, termasuk penurunan penjualan kendaraan dan… Read More

10 hours ago

BSI: Keuangan Syariah Nasional Berpotensi Tembus Rp3.430 Triliun di 2025

Jakarta - Industri perbankan syariah diproyeksikan akan mencatat kinerja positif pada tahun 2025. Hal ini… Read More

10 hours ago

Begini Respons Sompo Insurance soal Program Asuransi Wajib TPL

Jakarta - Presiden Direktur Sompo Insurance, Eric Nemitz, menyoroti pentingnya penerapan asuransi wajib pihak ketiga… Read More

11 hours ago

BCA Salurkan Kredit Sindikasi ke Jasa Marga, Dukung Pembangunan Jalan Tol Akses Patimban

Senior Vice President Corporate Banking Group BCA Yayi Mustika P tengah memberikan sambutan disela acara… Read More

12 hours ago

Genap Berusia 27 Tahun, Ini Sederet Pencapaian KSEI di Pasar Modal 2024

Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat sejumlah pencapaian strategis sepanjang 2024 melalui berbagai… Read More

12 hours ago