Jakarta – Bank Indonesia (BI) yang telah menaikkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebanyak 25 bps menjadi 4,5 persen, bakal segera direspon oleh perbankan dengan ikut menaikkan suku bunga kreditnya. Penyaluran kredit perbankan yang dipatok dapat tumbuh double digit ditahun ini sepertinya akan sulit tercapai. Apalagi, BI sudah memberikan sinyal untuk kembali menaikkan bunga acuannya lagi.
BI yang menaikkan bunga acuan sebesar 25 bps bukan tanpa alasan. Nilai tukar rupiah yang tengah tertekan terhadap dolar AS menjadi alasan utama BI agar mata uang rupiah tidak melemah terlalu dalam. Kendati demikian, sentimen positif pasar terhadap kebijakan moneter BI ini hanya bersifat sementara. Pasca bunga acuan dinaikkan, rupiah justru sempat melemah hingga mendekati level Rp14.200 per dolar AS.
Bank Sentral juga siap untuk menerapkan langkah kebijakan moneter yang lebih ketat termasuk penyesuaian kembali suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Beberapa ekonom juga menilai, kenaikan suku bunga acuan yang sebesar 25 bps dianggap masih kurang. Kondisi nilai tukar rupiah yang sudah tidak sesuai dengan fundamentalnya, menjadi alasan kuat bagi BI untuk menaikkan lagi suku bunganya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan bunga acuan BI bisa berdampak terhadap naiknya bunga kredit perbankan dalam 2-3 bulan kedepan. Saat ini, rata rata bunga kredit perbankan tercatat 11,20 persen per Maret 2018. Jadi, dengan suku bunga acuan BI yang sudah naik 25 bps ini, maka bunga kredit perbankan bisa naik menjadi kisaran 11,45 persen.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan bagi BI untuk kembali menaikkan bunga acuannya hingga 50 bps lagi hingga akhir tahun ini. Tentu, bunga kredit perbankan juga bakal ikut terdongkrak lagi. Kondisi ini bakal menahan pertumbuhan kredit perbankan yang pada tahun ini dipatok double digit atau berkisar 10-12 persen. Dengan bunga kredit 11,2 persen saja, pertumbuhan kredit perbankan hanya tercatat 8,5 persen per Maret 2018.
“Semakin tinggi bunga kredit, maka tekanan ke pertumbuhan kredit makin besar. Target pertumbuhan kredit tahun ini diperkirakan hanya 8-9 persen saja, sulit untuk doubel digit,” kata Bhima saat dihubungi Infobank di Jakarta, Senin, 21 Mei 2018.
Baca juga: Kebutuhan Kredit Mulai Meningkat, Bagaimana Likuiditas Bank?
Di tengah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, secara langsung akan berdampak ke daya beli masyarakat. Tingkat konsumsi yang lemah, juga berefek kepada pelaku usaha yang mengalami penurunan permintaan. Di sisi lain, suku bunga kredit yang tinggi juga memicu pelaku usaha enggan melakukan pinjaman atau bahkan melunasi utangnya. Hal ini dikhawatirkan akan mengerek kredit bermasalahan (NPL) bank.
“Pelaku usaha dengan kondisi permintaan yang melambat akan sulit melunasi pinjaman yang mahal. Cost of fund atau biaya pinjaman jadi membengkak dan menggerus pendapatan usaha. Otomatis risiko kredit macetnya akan naik. Per Maret NPL masih 2,75 persen, meskipun menurun tapi, jadi indikator agar bank lebih hati-hati salurkan kredit,” ujarnya.
Sementara untuk kredit konsumsi seperti kredit kendaraan bermotor dan properti pun nasibnya akan sama. Ada tren masyarakat untuk menahan belanja, lantaran bunga kredit yang mahal. “Ini seperti lingkaran, kalau satu proses bisnisnya melambat, maka akan merembet ke sektor lain mulai dari industri pengolahan, bahan baku dan ritel,” tegasnya.
Tekanan untuk naikkan bunga kredit bank, kata dia, juga perlu dicermati. Hal ini seiring dengan perpindahan deposan ke pembelian surat utang dengan alasan bunganya lebih menarik. Bunga deposito rata-rata saat ini tercatat hanya sebesar 5,8 persen, sedangkan bunga surat utang pemerintah dengan tenor yang sama bisa mencapai 6,8-7,2 persen. Perpindahan dana ini dikhawatirkan bisa menguras likuiditas perbankan.
“Untuk tahan dana deposito tidak pindah ke obligasi maka bank akan naikan bunga deposito. Rentetannya nanti ke bunga kredit juga. Efek bergandanya bisa ke target pertumbuhan kredit tahun ini yang hanya 8-9 persen dan sulit untuk double digit,” jelasnya.
Kendati demikian, BI mengaku akan terus memantau dan memitigasi dampak perkembangan nilai tukar dan suku bunga terhadap stabilitas sistem keuangan, baik terkait aspek likuiditas, permodalan, maupun risiko kredit, guna mengoptimalkan intermediasi perbankan yang sehat. Menurut BI, bahwa kondisi sistem keuangan saat uni masih tetap stabil disertai dengan intermediasi perbankan yang membaik.
Stabilitas sistem keuangan yang terjaga ini tercermin pada rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan yang mencapai 22,5 persen dan rasio likuiditas (AL/DPK) yang masih aman yaitu sebesar 21,2 persen pada Maret 2018. NPL juga menurun menjadi 2,75 persen (gross) atau 1,25 persen (net) pada Maret 2018. (*)
Jakarta – Bangkok Bank sukses mengakuisisi 89,12 persen saham PT Bank Permata Tbk (BNLI) dari Standard Chartered Bank dan… Read More
Jakarta – PT PLN (Persero) dalam mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060 membutuhkan investasi mencapai USD700 miliar… Read More
Jakarta - PT Bank Permata Tbk (BNLI) atau Permata Bank memiliki peluang ‘naik kelas’ ke Kelompok Bank… Read More
Jakarta – Presiden Prabowo Subianto optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai level 8 persen dalam kurun waktu… Read More
Jakarta - Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin… Read More
Makassar – PT Asuransi Maximus Graha Persada Tbk (Maximus Insurance) menyerahkan polis asuransi jaminan diri… Read More