Jakarta–Menteri Keuangan Sri Mulyani menggungkapkan holding harus bisa membuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) profesional dan transparan.
Untuk itu, menurutnya, perusahaan yang akan dijadikan perusahaan BUMN haruslah perusahaan yang sehat dan transparan.
“Jangan justru melindungi korporat yang sangat tidak efisien yang bahkan menyengsarakan banyak pihak. Pada akhirnya, masyarakat harus menanggung beban korporasi yang tidak efisien, yang rugi terus, yang minta tambahan modal terus yang berdarah-darah terus,” kata Sri Mulyani di Jakarta, kemarin.
Bila dilihat dari rencana pembentukan holding energi yang saat ini tengah bergulir, komentar Sri Mulyani sedikit menyentil rencana pembentukan holding migas yang bentuknya adalah Pertamina mengakuisisi PGN.
Dengan tingkat efisiensi yang rendah, bukan hal yang bijaksana bila menjadikan Pertamina sebagai induk perusahaan milik negara di sektor migas. Sektor yang cukup vital bagi perekonomian Indonesia.
Sekedar catatan, kinerja keuangan Pertamian bisa dikatakan berdarah-darah. Utang yang menggunung dan limit utangnya sudah habis membuat keuangan Pertamina ‘ngos-ngosan‘.
Holding migas ini salah satu cara untuk menambah aset untuk membuat utang baru. Bila tidak efisien maka hanya akan menambah utang-utang baru.
Hal senada pernah diungkapkan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri dalam paparan terbarunya terkait salah satu rencana pembentukan Holding BUMN yakni Holding BUMN Migas.
Menurut Faisal, dalam pembentukan holding migas, jangan sampai kinerja Pertamina yang belum transparan malah memengaruhi kinerja PGN.
“PGN merupakan BUMN yang tidak ada masalah, tingkat efisiensinya tinggi, dan ekternalitasnya tinggi. BUMN seperti ini jangan diganggu, jangan digabung dengan yang masih sakit atau yang bisnisnya merupakan substitusi,” kata Faisal belum lama ini.
Tidak efisiennya kinerja keuangan Pertamina juga bisa dilihat dari laporan keuangannya. Meski membukukan pendapatan usaha yang luar biasa besar mencapai USD41,76 miliar, namun perolehan laba bersihnya hanya tercatat sebesar USD1,42 miliar.
Artinya, laba yang dicatatkan Pertamina hanya setara 3,4% dari pendapatannya. Ini jauh dibanding bunga deposito perbankan saat ini yang berada di kisaran 6%.
Kinerja terbalik alias lebih positif justru ditunjukkan perusahaan gas plat merah, PGN yang mampu membukukan laba bersih sebesar USD401,2 juta di tahun 2015. Perolehan tersebut setara 13% dari pendapatan usaha yang sebesar USD3,07 miliar. (*) Dwitya Putra
Editor: Paulus Yoga
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More
View Comments
mas paulus yoga ini background dari apa sih ya..masak membandingkan bunga deposito dengan profit margin. kalau bunga deposito itu..harusnya berapa modal yang dikeluarkan dengan profit yang diperoleh berapa..itu yang dibandingkan.