Jakarta – Tahun 2024 merupakan tahun politik, di mana akan dilangsungkan Pemilihan Umum (Pemilu). Keberadaan Pemilu ini disebut-sebut akan memengaruhi lanskap perekonomian Indonesia.
Namun, pendapat berbeda diungkapkan oleh Chief Economist Citi Indonesia, Helmi Arman. Menurutnya, hal yang lebih berpengaruh terhadap ekonomi Tanah Air tahun depan adalah suku bunga tinggi dari Federal Reserve System alias The Fed Amerika Serikat (AS).
Pergerakan The Fed seringkali memengaruhi pergerakan dari bank sentral lain di dunia, termasuk Indonesia. Terlebih, suku bunga tinggi dari The Fed pada 2024 mendatang berpotensi menyebabkan masalah bagi ekonomi Indonesia.
Baca juga: Ekonomi Melambat di Triwulan III 2023, Waspadai Hal Ini di Tahun Politik
“Salah satu tantangannya adalah suku bunga AS yang akan berada di level tinggi dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Kita biasa sebut “higher for longer,” ungkap Helmi dalam Konferensi Pers Kinerja Keuangan Citi Indonesia Kuartal-III 2023 dan Pemaparan Kondisi Ekonomi di Masa Mendatang pada Senin, 13 November 2023.
Helmi menjelaskan sejatinya, sudah ada banyak sektor di Indonesia yang memiliki ‘bantalan’ untuk melindungi dari turbulensi ekonomi global. Meskipun begitu, tidak berarti perekonomian Indonesia akan aman-aman saja dari kondisi tersebut.
“Perlu diperhatikan kalau ada potensi tekanan di sektor keuangan akibat adanya arus dana yang keluar di tengah suku bunga AS yang ada di level tinggi. Tekanan ini bersumber dari nilai tukar, di mana ada beberapa sumber dari tekanan nilai tukar ini,” tutur Helmi.
Beberapa sumber yang Helmi maksud adalah harga komoditi yang lebih rendah dari tahun lalu, arus modal keluar dari Indonesia yang berasal dari pelaku dalam negeri, dan arus modal keluar dari investor asing.
Tahun ini, Indonesia melakukan hilirisasi di sejumlah sektor, khususnya di sektor logam dasar dan logam untuk kebutuhan barang-barang elektronik seperti baterai mobil listrik. Hilirisasi ini, kata Helmi, menjadi bantalan agar perekonomian Indonesia tidak terlalu terdampak tahun depan.
“Menurut perkiraan kami, ekspor dari sektor-sektor ini masih bisa meningkat sebesar USD 10 miliar dolar secara akumulatif dalam 2 tahun ke depan. Ini disebabkan karena tengah terjadi peningkatan kapasitas di industri tersebut dan demand dunia terhadap nikel masih akan tinggi karena penetrasi mobil listrik secara global yang meningkat,” ungkap Helmi.
Baca juga: Jokowi Masih Optimis Ekonomi Tumbuh Hingga 5,2%
Meskipun begitu, perlu digaris bawahi juga bahwa saat ini, tengah gencar proses substitusi dari baterai yang terbuat dari nikel menjadi baterai dari bahan lain seperti lithium iron phosphate (LFP).
Dari sektor ekonomi domestik, Helmi mengimbau bahaya inflasi karena akan menurunkan daya beli khususnya dari akar rumput dan saat ini tengah ada rebound karena inflasi dari sektor pangan cenderung meningkat.
“Di kuartal IV dan kuartal I tahun depan, kita mengantisipasi belanja terkait Pemilu dan bahan-bahan sosial. Ini kita harapkan bisa menurunkan dampak dari inflasi yang disebabkan karena El Nino,” tutup Helmi. (*) Mohammad Adrianto Sukarso
Jakarta – Bank Indonesia (BI) beserta seluruh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI)… Read More
Jakarta - MNC Sekuritas melihat pergerakan Indeks Harga Saham gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More