Ekonomi dan Bisnis

Biaya Produksi Tinggi, Peternak Minta Ombudsman Bertindak

Jakarta – Para peternak ayam mandiri merasa makin sulit berusaha. Pasalnya, selama ini biaya produksi mereka sudah tinggi dikarenakan mesti membeli berbagai kebutuhan produksi melalui perusahaan ternak besar dengan harga tak bersahabat.

Di sisi lain, dari segi harga mereka kalah saing dibandingkan perusahaan peternak ayam besar. Karenanya, para peternak ayam ini pun meminta Ombudsman untuk mengusut kontrol Kementerian Pertanian (Kementan) terkait perusahaan-perusahaan ternak besar di nusantara.

“Kementerian Pertanian koq nggak mengontrol yang kayak begituan? Mereka kan punya mandat untuk upaya menyejahterakan peternak mandiri,” ujar Direktur Lokataru Foundation, Haris Azhar dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 8 Maret 2019.

Selain terlihat tidak adanya kontrol dari Kementan, Haris melihat, para peternak mandiri seakan tidak pernah diproteksi dari persaingan dan diskriminasi harga yang menyudutkan mereka. Alhasil, ketika ada arahan untuk menekan harga, kesejahteraan para peternak mandiri inilah yang makin tertindas.

Laporan ke Ombudsman pun lebih ke arahkan untuk mengusut peran Kementerian Pertanian dalam pengontrolan peternakan ayam ini. Mengingat saat ini diskriminasi terhadap peternak ayam mandiri semakin besar.

Menurut Haris, hal tersebut tersebut terlihat dari bagaimana perusahaan-perusahaan ternak ayam besar menguasai bibit ayam, pakan, hingga obat-obatan. Disamping mereka juga melakukan budi daya yang menghasilkan biaya produksi menjadi lebih rendah.

“Mereka menguasai hampir semua sektor. Sementara giliran peternak mandiri harus beli DOC atau bibit ayam, pakan ayam, dan obat-obatan harus ke mereka. Harganya ketika mereka beli juga dimahalin dibandingkan perusahaan-perusahaan itu jual ke tempat mereka melakukan budi daya sendiri,” tuturnya.

Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Sugeng Wahyudi mengatakan, saat ini peternak mengalami suatu kondisi di mana harga ayam yang mereka jual berada di bawah harga produksi. “Sementara harga pakan kita dan DOC (day old chick/ anak ayam) tinggi,” ucapnya.

Menurutnya, murahnya harga ayam yang berbanding terbalik dengan biaya produksi yang tinggi salah satunya disebabkan banyaknya anak ayam beredar. Ia menjelaskan, banyaknya anak ayam yang beredar membuat harga ayam turun. Anehnya, harga anak ayam itu sendiri tak mengalami penurunan.

“Jumlah anak ayam per minggu itu kebutuhan kita tidak lebih dari 60 juta. Karena harganya saat ini jauh di bawah, ini pasti karena jumlahnya lebih dari 60 juta. Nah ini yang punya kewenangan pemerintah. Dia (pemerintah) mestinya ngerti,” papar Sugeng.

Dirinya menyebutkan bahwa dalam hal ini yang memiliki kewenangan adalah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sugeng juga mengaku sudah beberapa kali menjalin komunikasi dengan Kementan terkait masalah ini.

“(Komunikasi) sering dilakukan. Dan semestinya tidak harus diingatkan. Wong sudah tahu, mereka yang nguasain,” tegas Sugeng

Sementara itu, Yeka dari Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) menilai, peternak merasa tidak dilayani dengan baik sebagai warga negara oleh pemerintah.

“Yang utama adalah iklim usaha peternak yang tidak sehat, dimana perusahaan besar menghasilkan DOC, produksi pakan, dan juga budidaya. Sementara peternak yang melakukan budidaya tidak punya daya saing terhadap perusahaan-perusahaan besar,” tuturnya.

Yeka mengatakan, perusahaan besar dan peternak kecil sama-sama masuk di pasar yang sama. Sehingga mereka tidak mampu menjual DOC mereka.

“Dalam Undang-undang peternakan, di Pasal 29 ayat 1 memang perusahaan boleh masuk di budidaya. Namun jangan lupa ada ayat 5 yang menyebut pemerintah memberikan perlindungan kepada pelaku usaha atas persaingan tidak sehat, jangan Cuma ayat 1 dilaksanakan, ayat 5 nya tidak,” tuturnya.

Para peternak berharap ada regulasi yang bisa melindungi, karena Peraturan Mentan tentang Kemitraan, lanjut Yeka, kemitraan tidak melindungi para peternak kecil ini. Misalnya perusahaan besar hanya memasok di ritel modern dan pasar beku serta ekspor.

“Harapannya Ombudsman bisa masuk dan memetakan, apakah butuh Peraturan Pemerintah, Perppu atau Keputusan Presiden untuk hal ini. Dan bukan hanya sekedar regulasi, yang terpenting adalah kehadiran pemerintah dan konsisten bisa dilaksanakan,” jelasnya. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Harita Nickel Raup Pendapatan Rp20,38 Triliun di Kuartal III 2024, Ini Penopangnya

Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More

3 hours ago

NPI Kuartal III 2024 Surplus, Airlangga: Sinyal Stabilitas Ketahanan Eksternal Terjaga

Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More

3 hours ago

Peluncuran Reksa Dana Indeks ESGQ45 IDX KEHATI

Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More

5 hours ago

Pacu Bisnis, Bank Mandiri Bidik Transaksi di Ajang GATF 2024

Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More

5 hours ago

Eastspring Investments Gandeng DBS Indonesia Terbitkan Reksa Dana Berbasis ESG

Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More

7 hours ago

Transaksi Kartu ATM Makin Menyusut, Masyarakat Lebih Pilih QRIS

Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More

7 hours ago