Categories: Moneter dan Fiskal

BI: Tekanan Inflasi Perlu Dibarengi dengan Kebijakan Suku Bunga

Jakarta – Ketidakpastian ekonomi masih menjadi tantangan utama pertumbuhan ekonomi. Beberapa diantaranya adalah normalisasi kebijakan moneter di negara maju, dampak pandemi di sektor riil, serta masih berlanjutnya ketegangan politik antara Rusia dan Ukraina.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti memaparkan dampak yang dihasilkan secara global tercermin pada tekanan inflasi yang begitu kuat. Untuk mengatasi dampak tersebut, regulator perlu mengimbangi dengan normalisasi yang agresif dan dapat didukung oleh beberapa bank sentral, dengan meningkatkan suku bunga kebijakan serta mengurangi likuiditas sistem keuangan.

“Dan secara global kita sudah melihat dampaknya adalah tekanan inflasi yang begitu kuat sehingga ini harus diimbangi dengan normalisasi yang agresif dan dilakukan oleh beberapa bank sentral dengan meningkatkan suku bunga kebijakannya dan juga tentunya dengan mengurangi likuiditas di sistem keuangan,” ujar Destry, di Jakarta 13 Mei 2022.

Meski di tengah ketidakpastian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan I/2022 masih mencapai 5,01% secara yoy. Pertumbuhan ekonomi dipercaya masih bisa mencapai range 4,5-5,3% pada tahun 2022.

Oleh karena itu, normalisasi kebijakan harus dilakukan dengan strategi yang tepat dan matang supaya tidak terjadi resiko yang signifikan dan dapat berdampak pada akselerasi resiko makro. Untuk itu, Bank Indonesia bersinergi dengan otoritas terkait untuk menjaga momentum pemulihan pertumbuhan ekonomi.

Peran strategis APBN sebagai shock absorbent menjadi tumpuan roda perekonomian dan daya beli kelompok masyarakat rentan, menjadi pendukung kebijakan penting pemulihan ekonomi dari sisi kebijakan fiskal. Sementara itu, dalam hal kebijakan moneter, regulator masih mengutamakan keseimbangan kebijakan keuangan hijau, UMKM, dan syariah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia juga akan terus memperkuat transparansi suku bunga dasar kredit untuk mendorong intermediasi dan efisiensi biaya kredit bagi dunia usaha.

“Sementara itu untuk mendorong pemulihan penguatan tersebut antara lain diitempuh melalui pemberian insentif berupa kelonggaran kewajiban GWM bagi bank-bank yang menyalurkan kredit dan pembiayaan kepada sektor prioritas dan atau umkm yang memenuhi target rpim, kelonggaran kebijakan LTV, uang muka, serta capital buffer,” tambah Destry.

Tidak hanya itu, perkembangan transaksi digital, resiko perubahan iklim, serta komitmen menuju zero carbon emission akan berdampak pada perubahan struktur perekonomian secara masif sehingga perlu adanya transformasi yang terjangkau sehingga dapat meminimalisir resiko transisi bagi sistem keuangan. Sehingga dibutuhkannya sinergi dan kolaborasi untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. (*) Khoirifa

 

Editor: Rezkiana Nisaputra

Evan Yulian

Recent Posts

Tinggal Tap, QRIS NFC Bakal Meluncur di Kuartal I-2024

Jakarta – Bank Indonesia (BI) akan segera meluncurkan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) berbasis NFC (Near Field Communication)… Read More

17 mins ago

Diduga Kena Serangan Ransomware, BRI Pastikan Data dan Dana Nasabah Aman

Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) buka suara soal isu kebocoran data nasabah yang disebabkan… Read More

1 hour ago

Emiten Ritel MR.DIY Bidik Pembukaan 1.000 Toko Baru Tahun Depan

Jakarta - PT Daya Intiguna Yasa Tbk (MDIY) atau emiten ritel Mr.DIY, menyatakan bahwa raihan… Read More

2 hours ago

IHSG Sesi I Ditutup Merah ke Level 6.991, Ini Biang Keroknya

Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada perdagangan sesi I hari ini, Kamis, 19… Read More

2 hours ago

Hore! Mulai 21 Desember, BI FAST Mendukung Transaksi hingga 500 Rekening Sekaligus

Jakarta – Bank Indonesia (BI) akan memperluas layanan BI FAST dengan menghadirkan fitur transaksi kolektif (bulk… Read More

3 hours ago

Harga Saham MDIY Terjun Bebas usai Pencatatan Perdana di BEI

Jakarta – Harga saham PT Daya Intiguna Yasa Tbk (MDIY) anjlok 24,24 persen atau terkena… Read More

4 hours ago