Jakarta – Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 akan jauh meresot bila dibandingkan dengan kuartal I-2020 yang hanya 2,97%. Menurutnya, likuiditas lembaga keuangan masih mencukupi namun faktor kebijakan fiskal yang kurang dan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) membuat aktifitas bisnis tak normal dan mengancam perekonomian.
“BI dan pemerintah masih prediksi pertumbuhan kuartal-I bisa 4% karena PSBB padahal baru Maret tapi nyatanya ekonomi kita kuartal I hanya 2,97%. Tapi itu karena kita belum mulai full jadi kuartal-II diperkirakan kondisi ekonomi RI akan parah ketimbang kuartal pertama,” kata Destri pada acara video conference dengan ILUNI di Jakarta, Rabu 13 Mei 2020.
Menurutnya, bank sentral sudah mencukupi likuiditas di pasar melalui quantitative easing (QE) atau pelonggaran likuiditas. Tercatat sejak Januari-April 2020, BI telah melakukan pelonggaran moneter hingga total Rp386 triliun. Ditambah Rp117,8 triliun yang akan dikucurkan pada Mei 2020, total estimasinya mencapai Rp503,8 triliun. Oleh karena itu, eksekusi kebijakan stimulis fiskal juga harus berjalan lancar dan tepat sasaran agar konsumsi masyarakat mulai kembali bergerak.
“Sekarang sudah ada kebijakan Pemerintah dan Bank Sentral melonggarkan fiskal dengan defisit makin besar dan banyak terjadi quantitative easing (QE) hingga printing money, berdasarkan Modern Monetary Theory. Hampir semua negara easing policy, likuiditas melimpah, tapi aktivitas bisnis tidak normal,” ucap Destry.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai sejumlah kebijakan stimulus di tengah pandemi Covid-19 tidak berjalan efektif. Adapun kebijakan tersebut diantaranya, relaksasi PPh21, PPh22, PPh25 dan program Kartu Prakerja.
Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani mengatakan, untuk relaksasi PPh21 dia menilai tidak efektif karena batasannya untuk pekerja dengan gaji Rp200 juta per tahun atau Rp16,67 juta per bulan. Namun, pada kenyataannya, saat ini mayoritas pekerja menerima gajinya kurang dari gaji normal.
“Average di sektor pariwisata boleh dibilang malah di bawah 50%, jadi dikasih ini juga percuma karena yang dapetnya rendah. Jadi, pemerintah menulis Rp70,1 triliun itu sebetulnya cuma diatas kertas saja tapi kenyataannya tidak dirasakan manfaatnya khususnya oleh pekerja kita,” ujar Hariyadi.
Sebagai informasi saja, pandemi Covid-19 secara global telah memukul sendi sendi ekonomi nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) RI pada kuartal I-2020 hanya tumbuh 2,97% (YoY). Angka tersebut turun cukup dalam bila dibandingkan dengan kuartal I-2019 yang masih tumbuh 5,07%. (*)
Editor: Rezkiana Np
Jakarta - Raksasa teknologi asal Tiongkok, Huawei, merilis tablet terbaru, HUAWEI MatePad Pro 12.2 pada… Read More
Jakarta - Jejak investor asal Thailand di pasar keuangan Indonesia sudah cukup panjang. Lebih dari… Read More
Jakarta - PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) secara resmi meluncurkan program Makan Bergizi Gratis… Read More
Bandung - PT Geo Dipa Energi (Persero) atau Geo Dipa, salah satu badan usaha milik… Read More
Jakarta - Pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9.00 WIB (8/11), Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - MNC Sekuritas melihat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More