Categories: Moneter dan Fiskal

BI Rate Masih Ketinggian

Jika Indonesia ingin bersaing dengan negara-negara tetangga dari segi pertumbuhan ekonomi, maka idealnya BI Rate seharusnya berada pada kisaran 2,5%-3%. Rezkiana Nisaputra

Jakarta–Kebijakan moneter ketat Bank Indonesia (BI) yang tetap mempertahankan suku bunga acuannya (BI Rate) di level 7,5%, akan menyulitkan ekonomi domestik untuk bersaing dengan negara lain. Pasalnya, BI Rate di level tersebut masih terlalu tinggi, sehingga sulit untuk ekonomi dapat tumbuh secara berkesinambungan.

Pernyataan tersebut seperti disampaikan Anggota Komisi XI DPR, Nurdin Tampubolon, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 14 Juli 2015. “Daya saing industri dan sektor riil di dalam negeri sulit untuk bersaing di lingkup Asia Tenggara maupun Asia Pasifik. Lemahnya daya saing ini karena BI Rate yang sangat tinggi dibandingkan dengan negara tetangga,” ujarnya.

Menurutnya, kebijakan moneter BI bertolak belakang dengan kebijakan fiskal yang mengharapkan perekonomian nasional bisa bertumbuh secara berkelanjutan. “Sejak Januari saja, ekonomi terus melanjutkan tren perlambatan. Karena, besaran BI Rate tidak mendukung sektor riil dan industri dalam memberikan kontribusinya pada ekonomi kita,” tukas Nurdin.

Lebih lanjut dirinya menambahkan, untuk dapat bersaing dengan negara-negara tetangga, maka idealnya BI Rate seharusnya berada pada kisaran level 2,5%-3%. Sementara itu, berdasarkan hasil studi bandingnya dengan pemerintah dan bank sentral Korea Selatan baru-baru ini, besaran suku bunga acuan tidak bergantung pada realisasi dan proyeksi inflasi.

“Inflasi Juni yang masih 7,26% (year-on-year/yoy) tidak ada kaitannya jika BI memutuskan untuk menurunkan suku bunganya. Di Korea itu, penetapan suku bunga tidak mengacu pada inflasi,” ucapnya yang juga sebagai Ketua Fraksi Partai Hanura ini.

Besaran inflasi, seharusnya berorientasi untuk menumbuhkan dan memperbaiki iklim usaha di sektor riil dan industri. Menurutnya, Jika sektor riil dan industri kuat, maka defisit transaksi berjalan bisa surplus dan pada akhirnya akan menguatkan rupiah. Namun defisit transaksi berjalan juga dipengaruhi oleh struktur industri dan sektor riil yang tidak berdaya saing.

“Sehingga, kita itu selalu terus melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan nasional,” tegas Nurdin.

Adanya kondisi tersebut, jelas dia, komponen ekspor impor tidak akan mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. “Hanya konsumsi masyarakat dan investasi yang dominan. Diharapkan konsumsi pemerintah dari belanja modal bisa optimal di semester kedua ini,” tutup Nurdin. (*)

@rezki_saputra

Paulus Yoga

Recent Posts

Prabowo Terima Laporan dari BPK, 4 Kementerian Diganjar Opini Wajar dengan Pengecualian

Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menerima Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2024 dari… Read More

40 mins ago

Sambut Baik Usulan Sri Mulyani, OJK Ingin Anak SD Diajarkan Pasar Modal

Jakarta - Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, mengusulkan pengintegrasian edukasi dan literasi pasar modal… Read More

2 hours ago

Polisi Terbitkan Larangan Bepergian untuk CEO Jeju Air usai Kecelakaan Fatal Pesawat

Jakarta - Polisi di Korea Selatan menerbitkan larangan bepergian bagi CEO Jeju Air, Kim E-bae,… Read More

3 hours ago

Potensi Pendapatan PPN Rp75 Triliun Lenyap, Ini yang Bakal Dilakukan DJP

Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) otomatis akan kehilangan penerimaan negara sebesar Rp75 triliun usai kenaikan tarif… Read More

4 hours ago

Respons Anggota Bursa terhadap Penyesuaian Tarif Transaksi Bursa 2025

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12… Read More

4 hours ago

Pimpinan Komisi II DPR Bongkar Modus BKD Lakukan Praktik Manipulasi Data PPPK di Daerah

Jakarta - Pelaksanaan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) kembali menjadi sorotan publik, terutama… Read More

5 hours ago