Bali – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir pekan (30/9) terdepresiasi 2,24 persen bila dibandingkan dengan posisi akhir Agustus 2022 yang terdepresiasi 6,4 persen (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021.
Menurut Bank Indonesia (BI)) depresiasi mata uang rupiah tersebut relatif lebih baik bila dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 8,65 persen, Malaysia 10,16 persen, dan Thailand 11,36 persen.
BI optimistis nilai tukar rupiah ke depan bisa lebih stabil meski tekanan dari eksternal masih relatif tinggi. Menurut Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Wahyu Agung Nugroho, tekanan yang terjadi pada rupiah saat ini tidak terlepas dari ketidakpastian pasar keuangan global.
Wahyu menyampaikan, perkembangan nilai tukar yang tetap terjaga tersebut ditopang oleh pasokan valas domestik dan persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik, serta langkah-langkah stabilisasi Bank Indonesia.
Ke depan, lanjut Wahyu, Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makro ekonomi.
“Memang harapannya walau tekanan masih akan cukup tinggi, rupiah bisa lebih stabil. Tekanan saat ini lebih cenderung karena adanya kebijakan moneter yang agresif baik The Fed maupun ECB. Ada ketidakpastian mengenai kapan The Fed akan selesai naikkan suku bunga dan berapa besar,” ujarnya di Bali, 1 Oktober 2022.
Di sisi lain, tambah dia, dengan kinerja ekspor yang kuat serta langkah-langkah stabilisasi BI melalui intervensi di spot market ataupun Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), depresiasi rupiah dinilai relatif lebih aman dibandingkan negara berkembang lain.
“Kita meyakini dengan kebijakan sterilisasi tadi intervensi valas dan intervensi DNDF serta kebijakan pre-emptive dan didukung kenaikan suku bunga BI-7 Days Reverse Repo Rate kemarin, insya Allah ke depan rupiah akan lebih stabil lagi,” ucap Wahyu.
Bank Indonesia terus memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai bagian untuk pengendalian inflasi dengan intervensi di pasar valas baik melalui transaksi spot, DNDF, serta pembelian atau penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Baca juga: BI Tarik Uang Rupiah Khusus Tahun Emisi 1995 dari Peredaran
Bank sentral turut melanjutkan penjualan atau pembelian SBN di pasar sekunder (operation twist) untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah dengan meningkatkan daya tarik imbal hasil SBN bagi masuknya investasi portofolio asing melalui kenaikan imbal hasil (yield) SBN tenor jangka pendek, sejalan dengan kenaikan suku bunga acuan dan kenaikan struktur yield SBN jangka panjang yang lebih rendah.
Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan tekanan inflasi lebih bersifat jangka pendek dan akan menurun kembali ke sasarannya dalam jangka menengah panjang. (*)
Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) buka suara soal isu kebocoran data nasabah yang disebabkan… Read More
Jakarta - PT Daya Intiguna Yasa Tbk (MDIY) atau emiten ritel Mr.DIY, menyatakan bahwa raihan… Read More
Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada perdagangan sesi I hari ini, Kamis, 19… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) akan memperluas layanan BI FAST dengan menghadirkan fitur transaksi kolektif (bulk… Read More
Jakarta – Harga saham PT Daya Intiguna Yasa Tbk (MDIY) anjlok 24,24 persen atau terkena… Read More
Jakarta - Wakil Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Jakarta sekaligus Anggota Dewan Komisioner… Read More