News Update

BI Ingatkan Risiko Kurs Dari Tingginya Pendanaan Infrastruktur Swasta

Bali – Bank Indonesia (BI) menilai, tingginya pendanaan pembangunan infrastruktur Indonesia yang akan lebih banyak melibatkan pihak swasta, dikhawatirkan bakal menimbulkan risiko, diantaranya risiko kerugian kurs (pelemahan), risiko likuiditas dan juga risiko suku bunga.

Risiko tersebut akan dihadapi oleh swasta, terutama yang menarik pinjaman valuta asing (valas) dalam jumlah besar untuk mendanai infrastruktur. Namun demikian, menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, kekhawatiran tersebut akan diantisipasi dengan diversifikasi produk lindung nilai (hedging).

“Salah satu komitmen BI dalam hal infrastruktur adalah untuk memastikan manajemen risiko pasar dalam pembiayaan. Kita sudah maju dalam foreign exchange swap,” ujar Perry dalam Forum Infrastruktur Indonesia di rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-WB, di Bali, Selasa, 9 Oktober 2018.

Dengan adanya pasar valas berjangka domestik (Domestik Non-Deliverable Forwatrds/DNDF), juga menjadi upaya BI terkait lindung nilai utang valas swasta. Transaksi DNDF mengakomodir pihak swasta untuk melakukan transaksi derivatif valas terhadap rupiah yang standar berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik dengan denomasi rupiah.

“Kita sudah kenalkan DNDF sebagai instrumen untuk meningkatkan manajemen risiko mata uang,” ucapnya.

Sementara untuk memitigasi risiko suku bunga (interest risk) dari penarikan valas, dirinya mengatakan, Bank Sentral sedang mengembangkan Overnight Index Swap (OIS) yang akan menjadi acuan suku bunga untuk transaksi keuangan. Pembentukkan OIS setelah penerapan suku bunga pasar uang tenor satu hari, Indonia, benar-benar menjadi acuan pelaku pasar.

“Nanti akan ada acuan untuk tenor satu bulan, tiga bulan dan seterusnya,” paparnya.

Sedangkan untuk risiko likuiditas, Bank Sentral bekerja sama dengan Otoritas Keuangan. Salah satu upayanya adah dengan meningkatkan frekuensi pembukaan transaksi repo bagi perbankan untuk menjaga kondisi likuiditasnya. Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan infrastruktur Indonesia yang mencapai sekitar Rp5.500 triliun selama 2014-2019, tidak memungkinkan hanya mengandalkan kredit dari perbankan.

Maka itu perlu model pembiayaan baru, seperti sekuritisasi aset, ataupun obligasi hijau. “Kreasi pendalaman sektor keuangan harus dipercepat,” tambah Ketua DK OJK Wimboh Santoso. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Lovina Beach Brewery (SRTK) dan Coco Bali Bawa Minuman Lokal Bali Ekspansi ke Pasar Global

Poin Penting STRK menggandeng Coco Bali Pte Ltd untuk memperkuat ekspansi global melalui peluncuran tiga… Read More

3 hours ago

Kaleidoskop 2025: Deretan Menteri-Wamen yang Terseret Dugaan Kasus Korupsi

Jakarta - Sepanjang 2025, berbagai kasus korupsi menjerat para pejabat Indonesia yang berhasil diungkap Komisi Pemberantasan… Read More

8 hours ago

Jasa Marga Catat 1,5 Juta Kendaraan Tinggalkan Jabotabek hingga H+1 Natal 2025

Poin Penting 1,56 juta kendaraan meninggalkan Jabotabek selama H-7 hingga H+1 Natal 2025, naik 16,21… Read More

20 hours ago

Ada Fitur Auto DCA Explore Plans di PINTU, Simak Manfaatnya Buat Investor

Poin Penting PINTU meluncurkan fitur Auto DCA Explore Plans untuk memudahkan investor berinvestasi rutin dengan… Read More

23 hours ago

Daftar Lengkap UMP 2026 di 36 Provinsi, Siapa Paling Tinggi?

Poin Penting Sebanyak 36 dari 38 provinsi telah menetapkan UMP 2026, sesuai PP 49/2025 yang… Read More

1 day ago

UMP 2026 Diprotes Buruh, Begini Tanggapan Menko Airlangga

Poin Penting Pemerintah memastikan formulasi UMP 2026 telah memasukkan indikator ekonomi seperti inflasi, indeks alfa,… Read More

1 day ago