Jakarta – Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 6 persen. Kenaikkan suku bunga ini akan berdampak terhadap berbagai sektor mulai dari properti, asuransi, sampai kredit yang disalurkan perbankan.
Meskipun begitu, perlu dipahami juga bahwa kenaikan suku bunga dilakukan untuk memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak ketidakpastian global, serta sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk mitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor.
Pernyataan bahwa BI ingin nilai rupiah bisa stabil ini dibenarkan oleh Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan.
Baca juga: BNI Prediksi Tren Suku Bunga Tinggi Masih Berlanjut Hingga Tahun 2024
“Setelah membiarkannya di angka 5,75 selama 9 bulan berturut-turut, BI melakukan tindakan preemptive dan forward looking di tengah ketidakstabilan global. BI ingin mendukung kestabilan nilai rupiah di tengah volatilitas yang tinggi,” ujarnya dalam sebuah webinar Insurance Outlook 2024 dikutip 8 November 2023.
Dijelaskan oleh Katarina bahwa contoh nyata dari volatilitas tinggi ini bisa dilihat dari angka yield obligasi Amerika Serikat (AS) yang sedang ada di angka 5 persen, tertinggi sejak 2007. Katarina mengatakan, bahwa BI tidak bisa lagi menahan suku bunga.
Ditambah lagi, beredar kabar dari Federal Reserve System (The Fed) yang merupakan Bank Sentral AS, mengatakan kalau mereka akan melakukan “jeda” dan tidak akan menaikan suku bunga.
Pergerakan The Fed ini memang mempengaruhi bank sentral di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Kendati demikian, Katarina berpendapat bahwa penahanan suku bunga oleh The Fed tidak serta merta membuat mereka akan segera menurunkan suku bunga acuan.
“Menurut kami, BI akan mempertahankan suku bunga hingga akhir tahun ini dan kemungkinan sampai dengan paruh pertama 2024,” jelas Katarina.
Lebih dari itu, Katarina menambahkan kalau pelemahan rupiah terhadap dolar dalam beberapa bulan ke belakang ini masih jauh lebih baik ketimbang pelemahan yang terjadi di sejarah.
“Pelemahan rupiah lebih sedikit dibanding secara historis. Kalau kita lihat, 2019-2020 itu jauh lebih parah dibanding yang terjadi saat ini. Sebetulnya, rupiah Indonesia adalah mata uang yang performanya cukup terjaga dibanding mata uang lainnya secara year to date,” papar Katarina.
Baca juga: Suku Bunga Acuan BI Tinggi, Bagaimana Proyeksi Sampai Akhir Tahun?
Sebagai informasi, kurs rupiah kepada dolar AS pernah mencapai angka Rp16,376 pada April 2020, mencatat rekor yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Sementara kasus pelemahan rupiah terhadap dolar AS baru-baru ini “hanya” mencapai Rp15,910 pada akhir Oktober 2023 ini.
Di sisi lain, Katarina juga memprediksi pada 2024 nanti, The Fed akan menghentikan kenaikan suku bunga mereka karena berbagai alasan, mulai dari kenaikan suku bunga restriktif, pengetatan kondisi keuangan yang sangat agresif, sampai kenaikan harga energi.
“Kondisi ini bisa mendorong normalisasi suku bunga The Fed, dan banyak bank sentral lain bisa lebih akomodatif pada 2024 nanti,” pungkasnya. (*) Mohammad Adrianto Sukarso
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More