Analisis

Berapa Lama Indonesia Bisa Bertahan dari Krisis Akibat Pandemi?

Oleh Sigit Pramono

SAYA yakin tidak ada yang punya jawaban pasti atas pertanyaan itu. Karena pandemi seperti ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah manusia. Pada awalnya hampir semua orang, semua negara kebingungan dan tidak tahu bagaimana harus mengatasi pandemi ini. Tetapi ada satu hal yang semua orang sudah sepakat, ialah bahwa pandemi ini menimbulkan 2 isu besar yang harus ditangani, yaitu isu kesehatan dan isu ekonomi.

Kembali ke pertanyaan berapa lama kita bisa bertahan dari krisis akibat pandemi ini? Jika kita tidak tahu jawaban mutlaknya, barangkali kita bisa melakukan pendekatan dengan perbandingan secara relatif. Ini adalah semacam “jembatan keledai” untuk memudahkan berpikir dalam rangka proses pengambilan keputusan.

Seperti telah umum diketahui, Indonesia masuk daftar 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Indonesia ada di peringkat 16. Dari peringkat itu, kurang lebih kita juga bisa mendapat gambaran kekayaan (wealth) yang dimiliki suatu bangsa. Contoh PDB AS sebesar US$20,41 triliun (peringkat 1), Tiongkok dengan US$14,074 triliun (peringkat 2), dan Indonesia US$1,074 triliun (peringkat 16).

Dari angka- angka di atas mudah dipahami mengapa Amerika dan China disebut sebagai negara kaya dan Indonesia tidak? Karena negara-negara tersebut punya kekayaan yang diakumulasikan selama bertahun-tahun dalam jumlah yang besar sekali. Tabungan yang mereka punya juga besar sekali. Kita bisa berandai-andai dan membandingkan dengan mencoba mengaitkan PDB ini terhadap daya tahan negara-negara di dunia menghadapi krisis karena pandemi Covid 19.

Berdasarkan besarnya PDB, misalkan saja Amerika Serikat bisa bertahan 20 bulan, China akan bisa bertahan 14 bulan, dan Indonesia hanya bisa bertahan 1 bulan. Atau kalau kita balik, jika Indonesia bisa bertahan 3 bulan, China bisa bertahan 42 bulan dan Amerika Serikat bisa  bertahan 60 bulan. Dan seterusnya. Ini artinya kemampuan bertahan Indonesia dari pandemi hanya 1/20 kemampuan AS atau 1/14 kemampuan RRT. Mencemaskan bukan?

Barangkali akan ada yang mengatakan cara memperbandingkan seperti itu tidak tepat. Mungkin iya, tetapi setidaknya ada ukuran untuk dijadikan acuan, agar diketahui berapa lama kita bisa bertahan dari krisis akibat pandemi. Lebih jauh lagi agar kita sadar keterbatasan kemampuan perekonomian kita. Karena keterbatasan itu, maka kita harus menyusun strategi dan menetapkan prioritas.

Mengapa pemerintah terkesan tidak bisa menerapkan lokdon atau PSBB secara lebih ketat dan tegas. Salah satunya  karena keterbatasan dana. Oleh karena itu harus dicari alternatifnya. Pendekatan dengan menggunakan teori Pareto 80:20, barangkali bisa dipertimbangkan. Berdasarkan prinsip Pareto, Pemerintah tidak perlu melakukan upaya pencegahan penularan virus pada seluruh penduduk. Pemerintah hanya perlu fokus saja  kepada penanganan pandemi pada 20% penduduk.

Jika jumlah penduduk Indonesia tahun 2018 adalah 267,7 juta orang, berarti kita akan memfokuskan pada 53 juta orang. Penentuan penduduk mana saja yang akan dijadikan  sasaran, sebaiknya tidak dilakukan dengan cara acak melainkan ‘targeted’. Saya mengusulkan targetnya adalah penduduk kota-kota besar di Indonesia mulai dari Jabodetabek, Surabaya, Medan, Bandung, Makasar, Semarang, Palembang, Bandar Lampung, Batam dan Padang. Menurut data kependudukan, 10 kota besar itu total penduduknya adalah sekitar 44,4 juta. Jumlah ini mendekati 20% penduduk Indonesia sebanyak 53 juta.

Strategi pencegahan penularan virus tetap didasarkan pada pemahaman bahwa kita harus memutuskan rantai penularan dengan cara “social distancing” jaga jarak, dan  tinggal di rumah.

Mengapa pilihan dijatuhkan kepada kaum urban atau  penduduk kota besar? Karena itu memang pilihan paling logis, mengingat:

  1. Penduduk kota lebih padat dari pada penduduk pedesaan. Dengan demikian pencegahan penularan dengan “social distancing” lebih mendesak bagi penduduk kota dari pada pedesaan.
  2. Penduduk kota lebih tinggi mobilitasnya. Sehingga upaya pencegahan penularan virus dengan peraturan tinggal di rumah, lebih mendesak bagi penduduk perkotaan dari pada penduduk pedesaan.
  3. Secara ekonomi kelompok penduduk perkotaan paling bawah, paling rentan terhadap dampak isolasi wilayah atau PSBB,  dibandingkan penduduk pedesaan. Dengan demikian bantuan sosial kepada kelompok ini akan lebih tepat sasaran.
  4. Secara politik, penduduk kota lebih berisiko dan  rawan dimanipulasi oleh politisi burung nasar, untuk memantik api kerusuhan sosial. Vulture politicians (politisi burung nasar), yaitu politisi yang dengan  tanpa hati, telengas, tega memanfaatkan keadaan krisis pandemi untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penanganan pandemi Covid 19 ini adalah:

  1. Pemerintah Pusat fokus pada penanganan penduduk 10 kota besar yang jumlahnya 44,4 juta orang. Kelompok penduduk 10 kota ini  dikenakan peraturan PSBB ketat. Dan setelah itu dilakukan tes masal.
  2. Kemudian dari 44,4 juta orang itu, diidentifikasi warga kelompok bawah yang paling terdampak kehilangan penghasilan karena tinggal di rumah, untuk diberikan bantuan sosial.
  3. Penanganan pencegahan penularan Covid 19 untuk 80% penduduk di luar 10 kota terbesar di Indonesia didelegasikan kepada para gubernur, bupati, walikota masing-masing dengan tetap berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Saya pernah mengusulkan PSBB berdasarkan kluster pulau per pulau dengan mendelegasikan wewenang dan tugas penanganan pandemi ke   gubernur, bupati atau walikota yang ada di pulau tersebut sesuai dengan prinsip otonomi daerah dan desentralisasi. Pencegahan penularan Covid 19 dengan isolasi wilayah secara terbatas atau PSBB dari 80% penduduk inilah  yang harus ditangani oleh kepala daerah masing-masing.

Pencegahan penularan Covid 19 dengan menggunakan prinsip Pareto 80:20 dilakukan dengan keyakinan bahwa sebetulnya hanya 20% penduduk yang berisiko tinggi untuk tertular dan menularkan Covid 19. Di samping itu agar strategi ini tidak semata mengandalkan prinsip Pareto semata, penentuan penduduk yang 20% juga tidak dilakukan acak, melainkan dengan sengaja fokus kepada penduduk yang paling rentan untuk tertular dan menularkan virus, yaitu penduduk perkotaan. Dengan demikian diharapkan hasil dari upaya pencegahan penularan virus akan lebih optimal.

Penyelamatan Perekonomian

Jika isu kesehatan publik yang targetnya menyelamatkan nyawa manusia ini bisa ditangani dengan baik, maka program penyelamatan perekonomian bisa dilakukan secara paralel. Pemerintah sudah menganggarkan Rp405,1 triliun. Dalam kenyataannya menurut Ketua Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) belum ada dana yang masuk ke sektor riil.

Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), dana yang diperlukan untuk penanganan pandemi adalah Rp2,650 triliun. Di antaranya sebesar Rp400 triliun untuk kesehatan, Rp600 triliun untuk jaring pengaman sosial. Dan kalau targetnya juga untuk menghidupkan kembali sektor riil yang sedang mati suri, dana yang dibutuhkan sebesar Rp1,650 triliun. Termasuk untuk penyediaan dana untuk kredit modal kerja darurat berbunga sangat rendah selama setahun.

Kehadiran kredit modal kerja darurat berbunga sangat rendah ini ditunggu-tunggu dunia usaha. Alangkah idealnya jika OJK bisa memfasilitasi dengan ketentuan khusus masa krisis yang memungkinkan perbankan menyalurkan kredit itu. Tanpa kredit modal kerja darurat ini akan terjadi risiko meledaknya kredit bermasalah di perbankan, mengingat  debitur sudah tidak mampu bertahan tanpa pendapatan yang signifikan selama usaha berhenti sejak pandemi merebak.

Kita menyadari bahwa dana yang dibutuhkan untuk menangani krisis akibat pandemi ini  besar sekali, sehingga perlu diterbitkan semacam surat berharga negara (recovery bond) dengan kupon 1%. Dengan kebutuhan dana sebesar itu sedangkan kemampuan kita terbatas, sekali lagi kita harus menyusun prioritas mana yang akan didahulukan untuk dilakukan. Mengingat dana yang dibutuhkan begitu besar dan di sisi lain kemampuan Pemerintah juga terbatas, pendekatan penanganan krisis ekonomi akibat pandemi juga sebaiknya menggunakan hukum Pareto 20:80.

Pemerintah dan dunia usaha harus bisa mengidentifikasi dan menyepakati 20% pengusaha besar, 20% pengusaha menengah, 20% pengusaha kecil dan mikro yang harus diselamatkan terlebih dulu. Sisanya yang 80% diharapkan bisa ditarik ikut bergerak setelah yang 20% bangkit dan beroperasi kembali. Penentuan pengusaha yang akan diselamatkan terlebih dahulu selain memperhatikan sektor yang terdampak pandemi paling parah, juga sebaiknya memperhitungkan aspek “supply chain”.

Penyaluran Bantuan Sosial

Di beberapa negara kaya seperti Australia mereka melakukan pembatasan sosial secara ketat, warga diminta tinggal di rumah dan pemerintah memberikan bantuan tunai sebagai kompensasi karena tinggal di rumah. Bantuan langsung ditransfer ke rekening warga. Warga patuh tinggal di rumah karena pasti dapat kompensasi itu. Sementara di Indonesia yang terjadi sebaliknya. Warga banyak melanggar ke luar rumah mencari nafkah karena tidak ada kompensasi. Bagi kelompok  tertentu, pilihan mereka adalah mati karena Covid 19 atau mati karena kelaparan.

Penyaluran subsidi atau insentif, di negara lain sederhana saja. Warga diminta tinggal di rumah, kompensasi karena tinggal di rumah langsung ditransfer ke rekening warga. Mengapa Indonesia tidak bisa melakukan hal yang sama?

Menurut berita di media pelaksanaan program bantuan sosial di Indonesia kacau balau, tumpang tindih dan salah sasaran karena ternyata data mengenai siapa yang berhak menerima bantuan juga berantakan. Pelajaran paling berharga dalam penyaluran bantuan sosial adalah pentingnya “data base” yang kredibel. Oleh karena itu benahi segera dengan menyelesaikan secara tuntas program “Single Identity Number”. Kemudian dibangun juga “data base” penduduk yang kurang mampu yang berhak menerima bantuan sosial.

Sehingga, semua bantuan sosial tepat sasaran. Jangan terlambat lagi. Jangan dikorupsi lagi. Kita harus bisa meniru penyaluran bantuan sosial seperti di negara lain yang sederhana. Semua orang diminta tinggal di rumah dan kemudian Pemerintah mentransfer bantuan sosial ke rekening warga yang berhak. Jadi semua bisa patuh. Tidak ada yang  gaduh. Tidak ada kerumunan, tidak ada saling rebutan. (*)

Penulis adalah Ketua Umum Perbanas 2006-2016 dan Dewan Ahli InfoBank

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Mau ke Karawang Naik Kereta Cepat Whoosh, Cek Tarif dan Cara Pesannya di Sini!

Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More

3 hours ago

Komitmen Kuat BSI Dorong Pariwisata Berkelanjutan dan Ekonomi Sirkular

Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More

5 hours ago

Melalui Program Diskon Ini, Pengusaha Ritel Incar Transaksi Rp14,5 Triliun

Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More

5 hours ago

IHSG Sepekan Anjlok 4,65 Persen, Kapitalisasi Pasar Ikut Tertekan

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More

7 hours ago

Aliran Modal Asing Rp8,81 Triliun Kabur dari RI Selama Sepekan

Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More

12 hours ago

Bos BRI Life Ungkap Strategi Capai Target Bisnis 2025

Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More

14 hours ago