Jakarta–Penggabungan BUMN energi yakni PT Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) melalui mekanisme holding dinilai merusak tatanan kenegaraan. Jika tetap dilakukan, artinya pemerintah sekarang melupakan sejarah yang sudah dibentuk oleh pendahulunya.
Apalagi, pembentukan holding ini disinyalir hanya mengutamakan kepentingan kelompok tertentu saja. (Baca juga: Holding BUMN Akan Hilangkan Pengawasan BPK dan DPR?)
Ekonom dan Pengamat Kebijakan Publik Dradjad H. Wibowo mengungkapkan, pembentukan holding yang dilakukan oleh pemerintah terhadap Pertamina dan PGN seolah tidak melalui pengkajian yang mendalam dan terkesan ada peran kepentingan dari satu atau dua pejabat tertentu.
“Ini tidak matang juga pembahasannya dan saya lihat ini hanya untuk kepentingan 1-2 pejabat tertentu saja. Migas itu, menyangkut hajat hidup orang banyak. Jadi tidak boleh main-main dan ada unsur kepentingan di dalamnya,” kata Dradjad, di Jakarta, Selasa 29 November 2016.
Dradjad menjelaskan, pemerintah seharusnya bercermin dulu terhadap tata kelola migas yang saat ini terjadi di Indonesia. Menurutnya tata kelola migas di tanah air masih karut marut. (Bersambung)
Page: 1 2
Jakarta - Masyarakat perlu bersiap menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Salah… Read More
Jakarta - Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif (Kemenkraf/Bekraf) memproyeksikan tiga tren ekonomi kreatif pada 2025. … Read More
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa sejumlah barang dan jasa, seperti… Read More
Jakarta - Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus kembali mengecam serangan militer Israel di jalur… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik dibukan naik 0,98 persen ke level 7.052,02… Read More
Jakarta – Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)… Read More