Begini Pandangan Bos Lippo John Riady Soal Investasi dan Inovasi Digital

Begini Pandangan Bos Lippo John Riady Soal Investasi dan Inovasi Digital

Jakarta – Transformasi digital dalam sebuah ekosistem teknologi dinilai menjadi kunci penting dalam menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah krisis global akibat pandemi Covid-19.

Perubahan perilaku konsumen dalam beraktivitas secara daring selama pandemi mendorong percepatan
pendalaman transformasi digital.

“Saya pikir di Indonesia, kita melihat dengan jelas perubahan perilaku konsumen yang bersatu dan
dipercepat oleh kondisi yang ditimbulkan akibat Covid melakukan semua hal secara online. Ini adalah perkembangan yang sangat penting di tengah ekosistem teknologi. Saya percaya perusahaan yang bisa mencari solusi lebih baik terhadap suatu masalah atau kebutuhan konsumen, maka perusahaan ini akan berhasil,” ungkap CEO PT Lippo Karawaci Tbk John Riady dalam diskusi yang bertajuk ‘Investing in the Indonesian Digital Economy’, Kamis, 2 September 2021.

Menurut John faktor inilah yang menjadi alasan sejumlah entitas perusahaan rintisan (startup) seperti Tokopedia, Gojek, Ruangguru berhasil karena mampu memberikan solusi riil keinginan konsumen, sehingga bisa benar-benar mengubah perilaku konsumen.

Perubahan yang luar biasa ini, tambahnya, baik dalam hal modal dan arus modal, seperti sejumlah perusahaan yang akan go public, memungkinkan ekosistem teknologi di Indonesia untuk mengakses
kebutuhan modal yang jauh lebih besar daripada yang tersedia sebelumnya.

“Jadi saya pikir ekosistem benar-benar akan memasuki titik balik, dan akan selalu mengambil pendekatan multi-cabang untuk digital. Transformasi digital merupakan kunci penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia dan merupakan cara untuk mengangkat masyarakat Indonesia keluar dari kemiskinan,” ungkap John yang juga pemilik Ventura Capital.

Menurut John, di era digitalisasi memiliki ciri khas daya inovasi cepat, serta putaran investasi sangat tinggi, seolah valuasi perusahaan rintisan tak mengacu fundamental bisnis. Namun dari banyaknya perusahaan rintisan, akan menyisakan mereka yang berhasil memberikan solusi terhadap berbagai
masalah dan memberikan nilai tambah.

John menjelaskan bahwa transformasi digital memungkinkan seseorang untuk bisa diberdayakan dan diberikan kesempatan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Dia menepis kekhawatiran munculnya fenomena ‘Bubble Startup’ yang menghantui euforia ekonomi digital saat ini.

Valuasi pasar yang seringkali berbeda dari kinerja fundamental bisnis rintisan mungkin jadi salah satu momok tersebut. Di sisi lain, tambahnya, hampir seluruh pihak meyakini digitalisasi ekonomi akan menjadi lompatan besar dalam dunia bisnis yang disokong kemajuan revolusi teknologi 4.0. Dan ini akan semakin luas mengubah pola produksi, konsumsi, maupun cara hidup masyarakat ke depan.
Indonesia menjadi salah satu negara Asia yang memiliki potensi besar dalam era ekonomi digital tersebut. Bukan hanya jumlah populasi dan potensi pertumbuhan ekonomi, tapi juga terdapat ekosistem digital yang terus tumbuh.

Bahkan, pada 2030 sebagaimana diperkirakan Kementerian Perdagangan (Kemendag), ekonomi digital akan tumbuh delapan kali lipat, menjadi Rp4.531 triliun. Transaksi belanja daring memainkan peran signfikan dengan porsi 34%.

Selain itu, terdapat sektor ekonomi digital seperti health-tech serta edutech akan tumbuh signifikan. Indonesia diproyeksikan akan mengambil porsi 55% dari total GDP digital kawasan Asean.

Persoalannya, ramainya kemunculan perusahaan rintisan ini telah menjungkirkan cara pandang lama
tentang investasi dan inovasi. Kedua hal tersebut pada era industri konvensional senantiasa dilakukan secara hati-hati serta bertahap. Sedangkan pada era digital, cara pandang tersebut seolah berubah.

Publik terpaksa heran dengan valuasi pasar Tesla, misalnya, yang mengalahkan Toyota, namun dengan tingkat profitabilitas di bawah pabrikan Jepang tersebut.

John menilai banyak perusahaan rintisan memberikan solusi bagi permasalahan komunitas dan memberikan nilai tambah, serta berdampak positif.

“Sehingga, saya pikir ini semua sulit mengenal mahal-murah, baik atau tidak, tetapi ini bagian dari inovasi,” jelas jebolan Columbia University AS itu.

Lebih jauh, John memaparkan hal yang sama juga terjadi sejak manufaktur mobil pertama di AS. Kala itu, terdapat 500-600 perusahaan pembuat mobil.

“Namun 60 tahun sesudahnya, yang bertahan hanya Ford, General Motors, Chrysler. Singkatnya dari ratusan itu, hanya tiga sampai empat yang bertahan,
dan mereka adalah yang bisa memberikan solusi dan nilai tambah, inovasi dan prosesnya menentukan,” kata John.

Sebagai praktisi bisnis, John menilai perekonomian digital saat ini baru menapak fase permulaan dan akan terus bertumbuh. Terlebih lagi, pandemi Covid-19 yang masih berlangsung memaksa hampir seluruh lini kehidupan mengandalkan teknologi digital. “Tujuh tahun lalu, perusahaan sekelas Gojek hanya memiliki valuasi Rp1 triliun, saat ini valuasi itu mencapai US$60 miliar, naik 1.000 kali lipat,” kata John.

Dia menambahkan, dengan ekosistem teknologi yang semakin mapan, ke depan, perekonomian digital di Indonesia bukan hanya bertumbuh melainkan bisa mencapai sebuah ledakan revolusioner. Kalau berkaca pada Tiongkok, jelas John, di mana perusahaan digital generasi awal seperti Alibaba, Tencent, Baidu yang melantai di bursa dan telah memberikan return tinggi bagi investor memicu kelahiran banyak perusahaan rintisan baru.

“Ke depan, Indonesia akan mengalami fase yang sama. Bukan saja hal investasi dan sebuah return, tetapi transformasi digital yang akan menjadi kunci pertumbuhan ekonomi, juga akan mengangkat perekonomian masyarakat ke tingkat kelas menengah,” paparnya.

Adanya pandemi Covid-19 yang pada awalnya adalah bencana kesehatan, lanjutnya, ternyata justru mempercepat dan memperdalam transformasi digital. Hal ini terlihat pada sebagian besar aktivitas masyarakat yang sudah dapat dilakukan secara online. (*)

Related Posts

News Update

Top News