Jakarta – Nilai tukar rupiah tengah mengalami tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan, belakangan rupiah sempat menyentuh level Rp14.500 an per dolar AS. Bank Indonesia (BI) juga sudah melakukan intervensi dan menaikkan suku bunga acuannya sebagai upaya untuk menjaga rupiah agar tidak terlempar semakin jauh.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menilai, langkah yang dilakukan Bank Sentral dengan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 100 basis points (bps) menjadi 5,25 persen diperiode Mei-Juni 2018 sudahlah tepat. Menurutnya, jika BI tidak segera menaikkan suku bunga acuannya diperiode tersebut maka bisa saja laju rupiah bergerak ‘liar’.
“Kalau kemarin tidak dinaikkan rupiah bisa lari ke mana-mana. Memang keadaan BI saat ini seperti buah simalakama kalau dilihat-lihat,” ujar Jahja di Jakarta, Kamis, 26 Juli 2018.
Dia menyatakan, untuk stabilkan nilai tukar rupiah yang tengah tertekan, BI tidak hanya selalu mengandalkan cadangan devisa yang saat ini semakin tergerus. Oleh sebab itu, kata Jahja, BI sebagai otoritas moneter memiliki keputusan untuk dapat segera menaikkan bunga acuannya saat itu. Jika tidak, rupiah yang bergerak liar tentu dapat mempengaruhi jumlah cadangan devisa.
“Cadangan devisa kita bisa terkuras untuk menahan laju dolar AS saja. Ke depan situasi ini tidak selesai dalam waktu singkat,” ucapnya.
Menurut dia, kondisi ini tidak bisa dilihat dari satu sisi saja yakni hanya dilihat rupiah yang melemah dan bunga acuan yang terus meningkat. Tetapi ada juga faktor global yang harus diperhatikan, misalnya AS yang tahun ini sudah menaikkan bunganya berkali-kali. Kemudian pasar juga sudah berekspektasi akan terjadi kenaikan lagi pada September dan Desember dan juga tahun depan.
Jahja mengungkapkan, bahwa saat kondisi seperti ini, tentu para investor memiliki kecenderungan untuk menempatkan dananya di tempat yang memberikan imbal hasil yang tinggi. “Seorang investor itu kalau US interest rate naik mereka cenderung shift dana di tempat yang bunganya tinggi. Itu naluri investor,” tukasnya.
Kondisi rupiah saat ini memang sulit untuk kembali ke zona hijaunya. Posisi rupiah akan sulit jika dolar AS terus menguat sejalan dengan adanya kenaikan bunga acuan The Fed. “Apalagi sekarang hampir semua bahan baku kita impor, rupiah bisa terdepresiasi. Semuanya pasti naik, harga pokok naik. Kalau harga tidak ikut dinaikkan maka profit akan turun, memang ini sedikit dilema,” paparnya.
Lebih lanjut Jahja menjelaskan, bahwa mata uang yang tengah melemah bukan hanya rupiah saja, tetapi dolar AS juga menguat terhadap mata uang lainnya seperti renminbi, euro hingga poundsterling juga mengalami pelemahan. “Memang seperti itu, moodnya di dunia sedang mencari interest yang naik dan memang akan lebih tinggi. Itu tak bisa dihindarkan,” tegasnya.
Jakarta - Di era digital, keinginan untuk mencapai kebebasan finansial pada usia muda semakin kuat,… Read More
Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat indeks pembangunan manusia (IPM) mencapai 75,08 atau dalam… Read More
Jakarta - PT Caturkarda Depo Bangunan Tbk (DEPO) hari ini mengadakan paparan publik terkait kinerja… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada triwulan III 2024 tercatat… Read More
Jakarta - Wakil Menteri Koperasi (Wamenkop) Ferry Juliantono turun tangan mengatasi kisruh yang membelit Koperasi Produksi Susu… Read More
Serang - PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (Bank Banten) menyakini proses kelompok usaha bank… Read More