Jakarta–Megaproyek “kota baru” Grup Lippo yang diusung dengan nama Meikarta, yang berdiri di atas lahan seluas 2.200 hektar di kawasan Cikarang, Jawa Barat, digadang-gadang bakal menjadi kota berskala internasional. Namun demikian, tidak semua pihak melihat proyek tersebut sebagai sebuah hal yang menarik dan perlu untuk dipastikan dari berbagai aspek, terutama perizinan.
Proyek yang diklaim Grup Lippo bisa menyelesaikan masalah backlog perumahan tersebut memang membutuhkan dukungan perbankan. Baik itu untuk pembiayaan modal kerja maupun dukungan kredit konsumer melalui kredit pemilikan rumah (KPR) maupun kredit pemilikan apartemen (KPA).
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmaja mengatakan, pihaknya masih mengkaji untuk masuk ke Meikarta, kendati dia sendiri sempat diajak langsung melihat proyek bernilai Rp278 triliun tersebut.
Jahja sendiri berpendapat untuk masuk ke proyek properti BCA tidak sembarangan. Ada beberapa hal yang dikedepankan, mulai dari siapa pengembangnya hingga potensi pasarnya. “Itu memang sudah ada standarnya. Dilihat juga dari developernya, jenis proyeknya, dilihat juga dari buyback guarantee-nya. Kalau baru, kan belum ada pasar yang riil, itu harus ada jaminan buyback. Saya kira semua perbankan sama, saya hanya jalani yang harus dijalani saja,” jelas Jahja kepada Infobank di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Saat ditanya kepastian apakah BCA tertarik masuk ke Meikarta, ia belum bisa memastikan. Pasalnya banyak yang masih harus dipertimbangkan. “Kami memang tidak melakukan pembiayaan kontruksinya. Hampir enggak ada kami masuk ke sana. Kalau KPR-nya memang (bisa saja) tapi itu semua harus dilihat juga dari feasibility-nya. Bisa ikut atau bisa enggak sama sekali. Bisa juga masuk tapi pakai kuota. Namanya perbankan, kalau masuk kan harus lihat risiko dan lihat kehati-hatian,” papar salah satu best CEO di Indonesia itu.
Baca juga: Bos Lippo Minta Maaf, Meikarta Tetap Jualan
Penilaian dari aspek legalitas memang menjadi hal yang mutlak bagi perbankan, sebagai industri yang memiliki regulasi paling ketat ini memang harus mengedepankan sisi governance. Oleh karena itu, tidak bisa serta merta sebuah bank masuk ke sebuah proyek tanpa mempertimbangkan berbagai risiko yang bisa muncul.
Proyek Meikarta sendiri memang sedang tersandung masalah perizinan. Grup Lippo, melalui CEO-nya, James T Riady mengakui pihaknya memang belum mengantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Bekasi. Di mana, salah satu grup besar di tanah air ini masih dalam proses mengajukan analisis dampak lingkungan (Amdal) sehingga belum memeroleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk megaproyek hunian vertikal Meikarta.
“Mohon maaf kalau ada kekurangan-kekurangan, pasti semuanya akan dilengkapi. Tapi fokusnya seharusnya adalah bagaimana memikirkan 11 juta defisit perumahan di depan kita,” tutur James.
Namun, ia mengaku banyak bank yang telah mendukung kesuksesan proyek Meikarta. “Ada 15 bank, semua bank besar ada di sana, ada Mandiri, ada BRI,” akunya.
Walau belum mengantongi perizinan, sebenarnya Meikarta tidak akan berpolemik andaikata Grup Lippo tidak agresif melakukan aktivitas pemasaran. Pre-project selling, alias produk properti dijual sebelum pembangunan pun digelar. Hal ini berbuntut pemanggilan dan peringatan dari Ombudsman.
Baca juga: Sebelum Jualan, Meikarta Kudu Ikuti Aturan
Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih mengatakan, pihaknya menekankan kepada pihak Meikarta untuk tidak lagi melakukan kegiatan promosi dengan memungut booking fee atau uang pemesanan, sampai masalah perizinan kelar.
Ini menjadi catatan tersendiri. Karena efek yang ditimbukan bisa mengakar ke berbagai pihak, tidak hanya dari sisi konsumen, tetapi juga ke pihak perbankan yang membiayai proyek Meikarta. Bukan tidak mungkin, potensi kredit macet bisa terjadi. Sehingga ujung-ujungnya, bank juga yang jadi korban.
Ketua Sub Comm 3 Mortgage Bankers, Indrastomo Nugroho mengatakan, pada dasarnya setiap bank dalam kerja sama dengan pihak pengembang tidak sembarang hanya melihat nilai proyek.
Ia memaparkan, hal pertama yang dilihat perbankan adalah aspek legalitas. Ini sangat penting mengingat dampak negatifnya sangat besar jika aspek legalitas tidak terpenuhi. “Kedua masalah perizinan. Jika pihak pengembang sudah menyatakan komitmennya, kemungkinan besar bisa dibiayai. Ini masalah kredibilitas,” jelas Indrastomo kepada Infobank.
Artinya jika ada pengembang yang tanda kutip nakal atau tidak bisa memenuhi kewajiban kepada end user atau konsumen tentunya efek langsung yang dikhawatirkan bisa menyebabkan kredit macet. “Kalau sampai misalnya end user menyetop pembayaran angsuran, karena melihat tidak ada kejelasan barang atau apa yang dijanjikan tidak didapat, ini bisa memberikan impact ke bank. Namun kalau end user-nya komit, membayar sampai lunas, ya tentu saja tidak dirugikan banknya. Ini masalah waktu saja,” tukasnya. (*)
Editor: Paulus Yoga
Jakarta – Evelyn Halim, Direktur Utama Sarana Global Finance Indonesia (SG Finance), dinobatkan sebagai salah… Read More
Jakarta - Industri asuransi menghadapi tekanan berat sepanjang tahun 2024, termasuk penurunan penjualan kendaraan dan… Read More
Jakarta - Industri perbankan syariah diproyeksikan akan mencatat kinerja positif pada tahun 2025. Hal ini… Read More
Jakarta - Presiden Direktur Sompo Insurance, Eric Nemitz, menyoroti pentingnya penerapan asuransi wajib pihak ketiga… Read More
Senior Vice President Corporate Banking Group BCA Yayi Mustika P tengah memberikan sambutan disela acara… Read More
Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat sejumlah pencapaian strategis sepanjang 2024 melalui berbagai… Read More