Ilustrasi: Investasi di Indonesia. (foto: istimewa)
Jakarta – Berinvestasi bisa memberikan keuntungan, namun juga memiliki risiko kerugian. Meski demikian, jika kita memilih untuk tidak berinvestasi sama sekali, kita tetap akan mengalami kerugian akibat menurunnya daya beli uang karena inflasi.
Meskipun dampaknya tidak langsung terasa, dalam jangka panjang penurunan nilai uang akan dirasakan. Contohnya, uang Rp100.000 pada tahun 1990 cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama seminggu. Namun saat ini, nilai tersebut sudah jauh berkurang.
Dengan berinvestasi, kita memiliki peluang untuk mempertahankan daya beli uang. Investasi memungkinkan kita mengimbangi inflasi dan menjaga nilai uang agar tidak tergerus oleh kenaikan harga barang dan jasa.
Dengan demikian, kita tetap memiliki kekuatan beli yang sama atau bahkan lebih besar pada masa depan. Ini merupakan langkah penting untuk mencapai stabilitas finansial dan kesejahteraan jangka panjang.
Saat ini, pilihan instrumen investasi sangat beragam, mulai dari yang tradisional seperti valuta asing, emas, atau properti, hingga yang lebih modern seperti kripto, saham, obligasi, dan reksa dana.
Namun, selain memahami instrumen investasi dan dinamika pasar, aspek lain yang tak kalah penting adalah pengelolaan perilaku pribadi. Sikap dan pola pikir kita sangat memengaruhi keberhasilan dalam menumbuhkan kekayaan melalui investasi.
Baca juga: Investasi Pariwisata Dinilai Efisien, DPR: 1 Miliar Bisa Kembali 100 Kali Lipat
Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Freddy Tedja menjelaskan, dalam berinvestasi terdapat sejumlah perilaku bias yang berpotensi menyebabkan keputusan yang tidak optimal, bahkan berujung pada spekulasi tanpa dasar.
“Untuk memperbaikinya dibutuhkan kesadaran diri serta komitmen untuk menggunakan logika dan data dalam mengambil keputusan. Bukannya sekadar mengandalkan emosi semata,” katanya, dikutip pada Minggu, 22 Juni 2025.
Adapun tiga perilaku bias yang perlu diwaspadai adalah sebagai berikut:
Freddy menjelaskan, kepercayaan diri yang berlebihan dapat mendorong investor merasa sangat mampu memprediksi pergerakan pasar.
Bias kognitif ini membuat investor terlalu yakin akan “pengetahuan” mereka sendiri, meremehkan risiko, dan mengabaikan informasi yang bertentangan dengan keyakinannya.
“Para investor dengan overconfidence cenderung melakukan trading lebih sering karena mereka yakin sanggup mencetak untung besar dalam waktu singkat. Mereka mengabaikan biaya transaksi yang lebih mahal hingga potensi risiko yang lebih tinggi disebabkan investasi yang tak terverifikasi dengan baik,” jelasnya.
Kepercayaan diri yang berlebihan juga membuat investor bereaksi impulsif terhadap fluktuasi pasar, sehingga terjebak dalam pola “buy high, sell low.”
”Guna mengatasi situasi ini penting bagi investor untuk tetap tenang dan jeli dalam berinvestasi di instrumen apa pun, selalu belajar dan mencari perspektif yang berbeda-beda dari sumber tepercaya, serta memegang teguh strategi investasi jangka panjang termasuk pengelolaan risiko investasinya,” bebernya.
Loss aversion adalah kebalikan dari overconfidence. Ketakutan yang berlebihan terhadap kerugian membuat investor melewatkan peluang untuk menikmati pertumbuhan kekayaan.
Biasanya, mereka cenderung memilih alternatif yang minim risiko, seperti menyimpan uang di tabungan, yang sebenarnya tidak memberikan pertumbuhan berarti.
Akibatnya, banyak potensi keuntungan yang terlewat hanya karena batasan psikologis yang mereka ciptakan sendiri. Hal ini bisa menghambat tercapainya tujuan keuangan jangka panjang.
Baca juga: Pasar Modal Dikepung Sentimen Negatif, Intip Strategi Investasi dari Analis
“Kurangnya informasi biasanya menjadi sebab perilaku menghindari risiko. Hal ini sangat disayangkan di era digitalisasi seperti saat ini, di mana informasi hanya sejauh ujung jari, kalau saja mereka mau beralih sejenak dari konten-konten yang kurang produktif dan mengalokasikan beberapa menit menggali pengetahuan seputar investasi,” tambah Freddy.
Perilaku ini mencerminkan kecenderungan investor untuk mengikuti apa yang sedang menjadi tren, tanpa memikirkan apakah itu sesuai dengan kondisi dan profil risiko mereka
Mereka percaya bahwa jika banyak orang mengambil keputusan yang sama, maka itu pasti benar. Kalaupun salah, setidaknya mereka tidak merasa sendirian dalam menanggung kerugian.
Padahal, mengikuti arus tanpa analisis bisa menimbulkan sentimen pasar yang berlebihan, seperti gelembung (market bubble) pada suatu aset yang harganya melambung jauh dari nilai intrinsiknya, sebelum akhirnya anjlok.
Freddy menegaskan bahwa setiap investor memiliki tujuan, toleransi risiko, dan harapan imbal hasil yang berbeda. Karena itu, pendekatan investasi pun harus disesuaikan secara personal.
“Para investor sebaiknya mendasari keputusan investasinya pada riset, mencari nasihat profesional, menumbuhkan pemahaman atas diri serta profil risiko investasinya. Bukan karena ingin mengikuti tren atau mengandalkan insting semata,” tadasnya. (*)
Editor: Yulian Saputra
Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More
Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More