Moneter dan Fiskal

Banyak Peluang Investasi, Kawasan Asia Belum Tentu Terdampak Resesi

Jakarta – Potensi keparahan dari resesi global yang kemungkinan besar terjadi dalam 12 bulan mendatang masih menjadi pertanyaan. Asia Pasific tampaknya berada di posisi yang baik secara relatif dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain dalam hal inflasi, karena masalah naiknya harga rumah dan kurangnya tenaga kerja tidak separah di tempat-tempat lain seperti Eropa.

Hal ini diungkapkan oleh Stephen Dover, Chief Market Strategist and Head, Franklin Templeton Institute dalam APAC Investor Forum 2022, secara hybrid di Singapura, Senin, 28 November 2022. Terkait potensi resesi global ini serta prospek China dan implikasinya bagi investor, menurutnya dinamika di China berbeda dibandingkan dengan negara lain di dunia dan bisa membuat ekonominya berada di posisi yang lebih baik jika kebijakan moneter tetap longgar dan pembatasan Covid mulai berkurang.

“Hubungan China dengan Amerika Serikat juga akan menjadi isu penting untuk diperhatikan, dalam hal jalur pertumbuhan China dalam jangka pendek maupun jangka panjang,” ujar Stephen, Senin, 28 November 2022

Sementara itu, Sonal Desai, Chief Investment Officer, Franklin Templeton Fixed Income mengatakan, inflasi pun membawa peluang di pasar pendapatan tetap. Inflasi terbukti akan lebih kuat dibandingkan dengan yang diinginkan oleh pasar keuangan. Turun dari puncaknya sebesar 9-10% secara relatif lebih mudah, karena lonjakan harga energi memudar, namun menurunkan inflasi hingga ke level 2% akan jauh lebih sulit. The Fed harus membawa tingkat suku bunga dana fed hingga sekitar 5,25% dan mempertahankannya di angka tersebut cukup lama agar ekonomi bisa mengalami cooling down.

Menurut Sonal, bank sentral dunia di negara lain juga harus menjaga posisi moneter lebih ketat. Sebaliknya, resesi dalam skala sedang di AS akan menawarkan sejumlah dukungan untuk Asia dan negara lain di dunia. “Hasil yang lebih tinggi menciptakan peluang baru dalam pendapatan tetap yang akhirnya mulai menghasilkan pendapatan lagi. Kemungkinan hasilnya akan naik lebih tinggi, namun saat kita semakin dekat ke puncak siklus ini, obligasi investasi dan US Treasuries akan diuntungkan lebih dulu,” ucapnya.
 
Ia meyakini, melihat kelas-kelas aset yang lebih berisiko seperti imbal hasil yang tinggi dan pasar negara berkembang, dalam beberapa kuartal mendatang pemilihan sekuritas selektif akan memungkinkan investor mendapatkan keuntungan dari imbal hasil yang dalam banyak kasus berada di atas 10%. Yang menjadi perhatian utama adalah kejatuhan dari kebijakan moneter super longgar yang usianya sudah satu setengah decade.

“Hal ini telah menimbulkan pengambilan risiko dalam pasar, yang kini mengakibatkan munculnya serangan ketidakstabilan dan volatilitas; pikirkan anjloknya secara tiba-tiba harga obligasi di Inggris dan FX, atau masalah terakhir dalam aset kripto Amerika Serikat. Kita bisa menghadapi kejutan yang lebih besar yang menghantam pasar keuangan global, dan itu akan berdampak terhadap Asia juga – itu informasi yang tidak bisa diidentifikasi, jika Anda menginginkannya,” tambahnya.

Hal yang sama diungkapkan oleh Desmond Soon, Head of Investment Management, Asia (ex-Japan) / Portfolio Manager, Western Asset Management bahwa pendapatan tetap, untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, menawarkan pendapatan yang sangat besar dan hasil yang sangat menarik akhir-akhir ini. Dalam tiga hingga lima tahun yang akan datang, pendapatan tetap diharapkan akan menawarkan nilai bagus. Membeli obligasi kualitas tinggi untuk pelestarian modal, menghasilkan pendapatan dan liability immunization adalah caranya.
 
Dalam hal peluang, Indonesia dan India menonjol sebagai dua tempat utama yang harus diamati di dunia yang sedang berkembang. Obligasi pemerintah 10 tahun Indonesia menunjukkan imbal hasil 7%, dan Rupiah adalah salah satu mata uang teratas tahun ini. Sama halnya dengan obligasi India yang nampak menarik, dengan imbal hasil dari obligasi 10 tahun pemerintah India mencapai 7,25% saat India muncul dengan kuat setelah pandemi COVID-19 dan kepercayaan konsumen terhadap negara ini tinggi.

“Penting untuk menjadi bahan pertimbangan bahwa banyak negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan akan mendapatkan keuntungan dari strategi diversifikasi China Plus One,” paparnya.

Terkait prospek ekuitas untuk pasar global dan berkembang, Manraj Sekhon, Head, Templeton Global Investments, mengatakan ketatnya kondisi keuangan global dan lingkungan geopolitik yang memuncak telah mendorong arus silang yang menciptakan pasar yang sulit di sebagian besar tahun 2022. Tanda-tanda mencairnya kondisi ini menunjukkan bahwa prospek pasar 2023 akan terbukti cukup berbeda.

“Investor harus bergulat antara fundamental yang terus menurun dalam jangka pendek serta valuasi yang menarik dan prospek kebijakan yang lebih ramah saat kita melihat kedepan dalam 12 bulan mendatang. Ini akan menghadirkan padang perburuan menarik bagi stock pickers aktif dengan prospek jangka menengah hingga jangka yang lebih panjang,” katanya.

Selain itu, di sektor teknologi, Jonathan Curtis, Portfolio Manager, Franklin Equity Group, menjelaskan peluang jangka panjang dari transformasi digital di semua tema digitalisasi seperti cloud aman, dan SaaS (software as service), dan kecerdasan buatan. Layanan cloud aman menjadi dasar semua pengalaman digital.

“Kami mengestimasikan bahwa pasar komputasi cloud kemungkinan besar akan mencapai nilai lebih dari $3 triliun. Meskipun ada beberapa tarikan rem, fundamental nampak kuat secara umum dalam sektor teknologi enterprise. Bahkan saat dunia sedang dibuka kembali, pembelajaran digital dari pandemi sedang dioperasionalkan dan diperluas, dengan perusahaan terus memperluas investasi teknologi ke bagian-bagian lain dari bisnis mereka untuk memungkinkan operasional yang lebih efisien dan ini membantu mendorong daya tahan secara umum di sektor teknologi B2B,” paparnya.

Sebagai informasi, Franklin Templeton baru-baru ini menggelar APAC Investor Forum 2022, acara dalam format hybrid di Singapura yang mengumpulkan para panelis yang meliputi jajaran pakar investasi, termasuk CIO dan Manajer Portofolio dari berbagai tim Spesialis Manajemen Investasi dari internal perusahaan, untuk mendiskusikan lingkungan makro yang terus berubah sebagaimana dihadapi para investor dan potensi peta jalan investasi pada dekade mendatang. (*) Ayu Utami

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Fintech Lending Dinilai Mampu Atasi Gap Pembiayaan UMKM

Jakarta – Ekonom Senior Core Indonesia Hendri Saparini mengatakan masih terdapat gap yang tinggi antara kebutuhan pendanaan… Read More

8 hours ago

Dukung Program 3 Juta Rumah, Bank Mandiri Sinergi dengan Pengembang

Suasana saat penantanganan kerja sama Bank Mandiri dengan PT Delta Mitra Sejahtera dengan membangun 1.012… Read More

8 hours ago

BEI Optimistis Pasar Modal RI Tetap Tumbuh Positif di 2025

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut kinerja pasar modal Indonesia masih akan mengalami… Read More

9 hours ago

Jadwal Operasional BCA Selama Libur Nataru, Cek di Sini!

Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyesuaikan jadwal operasional kantor cabang sepanjang periode… Read More

10 hours ago

IHSG Tinggalkan Level 7.000, BEI Beberkan Biang Keroknya

Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (19/12) kembali ditutup merah ke… Read More

11 hours ago

Ekonomi AS dan China Turun, Indonesia Kena Imbasnya?

Jakarta - Senior Ekonom INDEF Tauhid Ahmad menilai, perlambatan ekonomi dua negara adidaya, yakni Amerika… Read More

11 hours ago