Oleh Kuseryansyah
INDONESIA patut bersyukur karena tingkat inklusi keuangan terus meningkat. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 mencatat indeks inklusi keuangan mencapai 80,51 persen, sementara literasi keuangan baru 66,46 persen. Angka ini memang menggembirakan, tetapi sekaligus menyimpan paradoks: semakin banyak masyarakat yang bisa mengakses layanan keuangan, namun belum benar-benar memahami cara menggunakannya dengan sehat.
Fenomena ini melahirkan kontradiksi. Di satu sisi, Indonesia dipuji sebagai salah satu pasar pinjaman daring terbesar di Asia Tenggara, dengan akumulasi penyaluran telah melampaui Rp1.000 triliun sejak berdiri. Di sisi lain, Satgas PASTI menerima 4.344 pengaduan pinjol ilegal hanya dalam lima bulan pertama 2025, dan hingga Maret sudah menutup 1.123 entitas ilegal. Inklusi tanpa literasi ibarat rumah tanpa fondasi—rapuh dan mudah runtuh.
Baca juga: OJK Kasih Update Jumlah Kredit Macet Pindar di Atas 5 Persen per Juli 2025
Pertama, kesenjangan pemahaman. Banyak pengguna hanya melihat kemudahan akses, tanpa menyadari pengenaan biaya, bunga, jangka waktu pinjaman, lebih jauh tentang disiplin dan kewajiban membayar tepat waktu, berdampak meluasnya fenomena gali lubang tutup lubang.
Kedua, keamanan dan kepercayaan. Maraknya penyalahgunaan data pribadi dan penipuan digital membuat masyarakat ragu. Padahal, industri resmi yang diawasi OJK ini menyalurkan pinjaman dengan outstanding hingga Rp83,52 triliun per Juni 2025 kepada lebih dari 15 juta akun aktif. Tanpa kepercayaan, adopsi layanan digital akan terhambat.
Ketiga, pembiayaan produktif yang terbatas. UMKM sebagai tulang punggung ekonomi masih kesulitan mendapatkan pembiayaan yang sesuai. Kematangan digital UMKM masih sangat bervariasi yang berhubungan dengan kemudahan mengakses layanan. Padahal pinjaman daring bisa menjadi motor pertumbuhan jika diarahkan ke sektor produktif.
Keempat, ketimpangan wilayah. Masyarakat perkotaan semakin terbiasa dengan e-wallet/QRIS dan layanan digital lainnya, tetapi di daerah 3T infrastruktur dan akses masih minim.
Regulator dan asosiasi industri memegang peran penting dalam meningkatkan kualitas inklusi dan literasi keuangan ini. OJK dan BI harus terus memperkuat pengawasan sekaligus gencar mengedukasi publik. Hal ini dalam upaya memastikan penyelenggara keuangan digital (bank, fintech: pembayaran -pinjaman – asuransi -investasi) beroperasi sesuai aturan. Hal ini menciptakan rasa aman sehingga masyarakat berani dan semakin nyaman menggunakan layanan resmi.
Asosiasi: AFPI, AFTECH, AFSI, ALUDI harus terus aktif mengadakan program literasi lintas pemangku kepentingan bersama regulator, akademisi, komunitas dan pelaku usaha. Mendorong penerapan code of conduct agar anggota/penyelenggara fintech patuh pada standar etika, sehingga pengguna tidak merasa dirugikan dan mendapatkan rasa aman. Selanjutnya mendorong tata kelola sehat serta memerangi pinjol/investasi ilegal.
Tentu saja, tidak dapat berjalan sendiri, ekosistem ini hanya akan efektif jika masyarakat ikut bergerak dari sekadar tahu menjadi mampu menggunakan dengan benar.
Layanan keuangan digital ditantang menghadirkan produk berbasis kebutuhan nyata. Bukan sekadar menambah download-install dan meningkatkan registrasi melainkan menghadirkan solusi nyata: pembiayaan usaha, integrasi dengan e-commerce, hingga layanan pembayaran digital yang efisien.
Baca juga: AFPI Bersama 97 Platform Pindar Tolak Tuduhan Kartel Bunga
Inklusi keuangan digital tidak boleh berhenti pada angka statistik. Literasi harus diubah menjadi aksi. Edukasi berbasis komunitas – dari koperasi, pesantren, hingga UMKM, dan beragam komunitas – lebih efektif karena dekat dengan kehidupan masyarakat.
Transparansi juga mutlak. Biaya, bunga, hingga risiko harus dijelaskan dengan sederhana.
Semakin jujur dan terbuka penyedia layanan, semakin tinggi pula kepercayaan publik.
Indonesia punya modal besar: populasi digital native, adopsi dan ekosistem fintech yang terus berkembang, serta regulasi yang semakin matang. Namun inklusi keuangan digital seharusnya bukan sekadar akses, melainkan pemberdayaan. Jika dikelola dengan benar, ia bisa menjadi mesin produktivitas, bukan jebakan konsumtif.
Visi ke depan harus jelas: dari literasi ke aksi, dari akses ke pemanfaatan, dari transaksi ke produktivitas. Tanpa itu, inklusi hanya akan menjadi angka, bukan perubahan nyata. (*)
Penulis merupakan Ketua Harian AFTECH (2018-2019) dan Ketua Harian/Executive Director AFPI (2019–2023). Saat ini sebagai CEO KrediOne dan Ketua Bidang Humas AFPI (2023–2026)
Poin Penting Pertamina EP memperkuat praktik keberlanjutan dan transparansi, yang mengantarkan perusahaan meraih peringkat Bronze… Read More
Poin Penting Konsumsi rumah tangga menguat jelang akhir 2025, didorong kenaikan penjualan ritel dan IKK… Read More
Poin Penting Livin’ Fest 2025 resmi digelar di Denpasar pada 4-7 Desember 2025, menghadirkan 115… Read More
Poin Penting Rupiah berpotensi menguat didorong ekspektasi kuat pasar bahwa The Fed akan memangkas suku… Read More
Poin Penting RBC dan RKI TUGU melampaui industri, masing-masing di 360,9% dan 272,6%, menunjukkan kesehatan… Read More
Poin Penting Pembiayaan perbankan syariah diproyeksi tumbuh dua digit pada 2025–2026, masing-masing menjadi Rp709,6 triliun… Read More