TANTANGAN bankir main banyak. Bank mereka harus memenuhi modal inti minimum Rp3 triliun pada 2022 sebagai indikasi mereka adaptif terhadap perkembangan teknologi digital, dan mereka harus bekerja keras mengelola loan-at-risk agar tidak jatuh menjadi kredit bermasalah dalam masa “living with Covid”. Bank juga harus mengeluarkan biaya baik investasi maupun sewa untuk mengikuti BI Fast, yang digaungkan Bank Indonesia (BI) sebagai model pembayaran ritel (retail payment) yang realtime online dan sesuai dengan kebutuhan mutakhir di era digital dan mengantisipasi perubahan pesat ke depan.
Wajar jika Sebagian bankir berkeluh kesah, terutama dari bank papan bawah. Sebab, kabar yang beredar ke telinga mereka termasuk yang dihembuskan vendor-vendor teknologi, investasi untuk mengikuti BI Fast lumayan mahal. “BI minta bank cari vendor dan investasi sendiri. Belum begitu jelas, infonya bank harus investasi sampai dengan Rp 20-an miliar untuk bangun infrastruktur,” ujar seorang direktur utama bank bermodal inti antara Rp1 triliun hingga Rp5 triliun kepada Infobank bulan lalu.
Namun, kabar baik bagi bank juga muncul dari BI. Filianingsih Hendarta, Asisten Gubernur BI dan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran, meralat informasi yang beredar di pasar bahwa BI mewajibkan bank mengikuti BI Fast. Menurutnya, pada tahap satu bank yang menengah ke bawah yang transaksinya kecil tidak perlu menjadi peserta langsung, tapi bisa menjadi peserta tidak langsung dengan bergabung kepada bank peserta langsung.“Bank yang nggak mampu bisa menjadi peserta tidak langsung, tetap bisa menikmati “fast” payment tapi mereka nggak perlu siapkan infrastruktur. Kalau belum mampu nggak apa-apa, kan masih ada SKN BI,” ujarnya kepada Infobank awal September lalu. Filianingsih menambahkan bahwa BI Fast disiapkan untuk membuat lebih murah transaksi elektronik. “Tidak semahal GPN yang di biaya Rp6.500 per transaksi,” jelasnya.
Lalu, benefit jangka pendek – menengah apa yang diperoleh bank atas investasi tersebut? Sebab, spirit BI adalah untuk menurunkan biaya transaksi terutama transfer antar bank bagi nasabah. Padahal, sebagai lembaga bisnis bank harus menghitung potensi pendapatan atas setiap investasi dan biaya operasional yang dikeluarkan. “Kalau BI menerapkan limit maksimal biaya kepada nasabah tanpa mempertimbangkan total biaya investasi BI-Fast dan biaya terkait lainnya yang sudah “built-in” dalam proses transaksi, bank bisa nombok dan pendapatan bank malah bisa drop,” ujar seorang bankir.
Berapa investasi yang harus dikeluarkan bank untuk mengikuti BI Fast dan berapa potensi pendapatan yang didapat dari komisi transaksi? Apa bedanya BI Fast dengan Gerbang Pembayaran Nasional yang diluncurkan pada 2018 dan mengeliminasi peran principal asing untuk menikmati fee transaksi debit domestik? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 522 Oktober 2022.
Jakarta – Ekonom Senior Core Indonesia Hendri Saparini mengatakan masih terdapat gap yang tinggi antara kebutuhan pendanaan… Read More
Suasana saat penantanganan kerja sama Bank Mandiri dengan PT Delta Mitra Sejahtera dengan membangun 1.012… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut kinerja pasar modal Indonesia masih akan mengalami… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyesuaikan jadwal operasional kantor cabang sepanjang periode… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (19/12) kembali ditutup merah ke… Read More
Jakarta - Senior Ekonom INDEF Tauhid Ahmad menilai, perlambatan ekonomi dua negara adidaya, yakni Amerika… Read More