Jakarta – Prospek bank digital masih menjadi daya tarik investor asing. Setelah Ribbit Capital mengumumkan investasi di Bank Jago, kini giliran Alibaba, melalui Akulaku Silvrr, berhasil meraih dukungan mayoritas pemegang saham untuk menjadi pengendali Bank Neo Commerce (BBYB). Selain Ribbit dan Alibaba, investor kakap lain seperti Grab juga dikabarkan tengah mengincar bank kecil untuk dikonversi menjadi digital.
Menurut sejumlah ekonom minat investor asing dipicu setidaknya dipicu tiga hal. Pertama, besarnya populasi masyarakat Indonesia yang belum memiliki rekening bank (unbanked population). Jumlahnya mencapai 52% atau sekitar 95 juta orang.
Kedua, lebih dari 47 juta penduduk dewasa tidak memiliki akses memadai pada kredit, investasi dan asuransi. Ketiga, penetrasi smartphone di Indonesia mencapai hingga 70%-80%. Fakta ini mengonfirmasi masyarakat Indonesia secara infrastruktur sangat siap untuk perbankan digital.
Faktor pendorong lainnya adalah POJK Bank Umum yang memberikan kepastian hukum bagi investor untuk menanamkan modal di bank digital. Sebagian investor memilih jalan akuisisi bank kecil untuk dikonversi menjadi bank digital, seperti Sea Limited (induk Shopee) yang mengubah Bank Kesejahteraan menjadi SeaBank dan Alibaba di BBYB.
Belakangan, Grab juga ditengarai akan menempuh cara serupa. Sebagian lainnya menempuh opsi penyertaan modal di bank digital eksisting yang dianggap memiliki prospek menjanjikan, seperti yang dilakukan Gojek, GIC Private Limited dan Ribbit Capital di Bank Jago.
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menjelaskan alasan investor tertarik berinvestasi pada bank digital seperti Bank Jago memiliki faktor beragam.
“Salah satu yang dilihat investor adalah prospek perkembangan perbankan digital di Indonesia sangat menjanjikan. Dalam kurun waktu 10 tahun kedepan, bank digital diperkirakan membuat persaingan industri perbankan menjadi lebih efisien, jumlah sektor usaha yang dibiayai pinjaman meningkat, serta mampu menciptakan ekosistem digital yang semakin lengkap,” katanya, Senin, 11 Oktober 2021.
Faktor demografi menurut Bhima bukan satu-satu nya yang mampu mendorong masyarakat beralih menggunakan bank digital. “Tidak hanya generasi milenial dan Z yang tertarik menjadi nasabah bank digital, generasi yang lebih senior pun melihat bank digital sebagai sebuah kebutuhan karena layanan cukup lengkap dari tabungan, pinjaman hingga layanan investasi dalam satu platform.” ujar Bhima yang juga seorang ekonom.
Kedepan, bank digital yang mampu meningkatkan integrasi layanan dengan platform digital lain, serta mampu menjadi leader dalam inovasi teknologi, berpotensi menjadi market movers. Bhima menambahkan “Integrasi layanan yang dimaksud misalnya nasabah cukup membuka tabungan bank digital di platform e-commerce, sebaliknya nasabah juga bisa lakukan investasi reksadana saham di bank digital tanpa harus membuka akun baru di platform khusus investasi. Ini akan memberikan user experiences yang berbeda dari bank tradisional”.
Direktur Celios itu menyarankan agar bank digital mampu mendorong kenaikan literasi keuangan digital, sekaligus penetrasi pinjaman ke sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja. “Visi jangka panjang bank digital sudah sesuai dengan inti layanan perbankan yaitu menjadi lembaga intermediasi yang pada akhirnya meningkatkan budaya literasi tidak hanya soal tabungan tapi bagaimana memanfaatkan platform untuk pinjaman produktif, dan berdampak pada munculnya wirausaha-wirausaha baru yang menyerap tenaga kerja secara masif.” pungkas Bhima.
Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menjelaskan pada dasarnya bank punya peluang yang sama untuk memenangi persaingan. Karena saat ini semua bank telah mengembangkan layanan digitalnya, maka bank yang lambat beradaptasi tentunya akan tertinggal. ”Teknologi digital membawa bank berdiri di garis start yang sama. Jika dulu bank-bank besar yang memiliki banyak kantor cabang dan ATM menjadi pemenang, kini di era teknologi digital, bank memiliki garis start baru untuk berlomba jadi pemenang,” kata Piter.
Piter mencontohkan Bank jago sebagai bank pertama yang benar-benar sudah full digital, yang membuatnya unggul untuk memulai duluan dibandingkan kompetitor yang saat ini masih dalam fase persiapan. “Jago punya punya kelebihan karena start di garis pertama. Tinggal bagaimana bank Jago bisa memanfaatkan start awal ini dengan mengembangkan sistem layanannya kedepan dan bisa menjadi pemenang,” katanya.
Menurut Piter, bank digital manapun bisa memenangkan persaingan asal memenuhi tiga syarat utama. Pertama, bank digital harus memiliki kemampuan mengakses ekosistem digital. Kalau dulu bank yang punya cabang dan atm banyak jadi pemenang, kini bank yang punya ekosistem besar punya peluang besar jadi pemenang.
Kedua, Bank digital harus memiliki produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen masa kini dan masa depan. Hal ini mengingat tuntutan nasabah akan layanan perbankan terus meningkat, khususnya di era digital saat ini.
Ketiga, Bank digital harus punya modal besar dan SDM yang kuat. Hal ini juga menjadi salah penentu bank digital bisa memenangkan persaingan kedepan. (*)
Jakarta - Sejumlah bank digital di Indonesia telah merilis laporan keuangan pada kuartal III 2024.… Read More
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat penermaan dari sektor usaha ekonomi digital hingga 31 Oktober 2024 mencapai… Read More
Jakarta - Kinerja fungsi intermediasi Bank Jasa Jakarta (Bank Saqu) menunjukkan hasil yang sangat baik… Read More
Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia untuk mendukung upaya PBB dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan internasional. Termasuk… Read More
Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding paylater atau Buy Now Pay Later (BNPL) di perbankan… Read More
Jakarta - Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menargetkan jumlah agen asuransi umum mencapai 500 ribu… Read More