Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
MUSIM panen dana murah terancam berakhir tahun ini. Suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate yang diturunkan menjadi 3,50% sejak Februari 2021, memang masih dipertahankan dalam keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 18-19 April lalu. Namun, ada dampak perang Rusia-Ukraina yang harus diwaspadai karena memicu ancaman inflasi global dan meningkatkan biaya ekonomi makro.
Makanya, The Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat (AS) pun diperkirakan akan mempercepat realisasi kenaikan suku bunga hingga 100 basis poin selama tahun ini. Jerome Powell, Ketua The Fed, pun sudah mengatakan kenaikan 50 basis poin mungkin diputuskan dalam pertemuan The Fed pada minggu pertama Mei 2022.
Kenaikan inflasi pun sudah terasa di Indonesia, terutama kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan unsur penting dalam aktivitas produksi. Secara tahunan, laju inflasi di tanah air per Maret 2022 mencapai 2,64%, meningkat dari laju inflasi tahunan sepanjang 2021 yang 1,87% atau pada 2020 yang hanya 1,68%.
Laju inflasi pada April dan Mei diperkirakan lebih tinggi dari bulan sebelumnya karena lonjakan permintaan pada bulan puasa dan libur Idul Fitri. Ditambah jika The Fed merealisasikan kenaikan suku bunga acuannya, maka akan diikuti bank-bank sentral negara lain termasuk Indonesia, dan terjadinya pengetatan likuiditas bisa menekan permintaan kredit yang belum cukup kuat karena meningkatnya suku bunga.
Pengetatan likuiditas akan mengakhiri musim panen dana murah yang dinikmati bank-bank sepanjang 2021 hingga industri perbankan berhasil mencatat pertumbuhan laba hingga 33,89% ketika kreditnya tumbuh terbatas. Menurut Biro Riset Infobank (BirI), ada sejumlah faktor pendongkrak laba perbankan yang mencapai Rp140,21 triliun tahun lalu.
Satu, industri perbankan mencatat penurunan rasio biaya dana terhadap dana pihak ketiga (DPK) dari 4,66% pada 2019, menjadi 3,42% pada 2020, dan hanya 1,88% pada 2021. Makanya kendati pertumbuhan kredit hanya 4,92% dan pendapatan bunga industri perbankan anjlok 2,54% menjadi Rp773,90 triliun, tapi pendapatan bunga bersih meroket 12,90% menjadi Rp381,90 triliun.
Dua, kontribusi pendapatan selain bunga atau fee based income yang meningkat 9,83% menjadi Rp716,87 triliun. Bank-bank berusaha menggenjot pendapatan nonbunga di tengah lemahnya permintaan kredit sehingga kontribusi pendapatan selain bunga terhadap total pendapatan bank menunjukkan tren meningkat dari sebesar 26,66% pada 2015, 28,41% pada 2016, 26,72% pada 2017, 27,82% pada 2018, 29,43% pada 2019, 35,36% pada 2020, dan 38,29% per Desember 2021.
Tiga, berkurangnya kredit restrukturisasi dari Rp829,71 triliun pada 2020 menjadi Rp663,49 triliun pada 2021. Artinya, ada Rp166,22 triliun kredit yang keluar dari restrukturisasi dan sebagian menjadi lancar sehingga mendatangkan pendapat bunga bagi perbankan.
Empat, banyak bank memecah “celengan semar” yang tahun-tahun sebelumnya dicadangkan terlalu besar akibat ketakutan akan non performing loan (NPL). Banyak kredit yang kolektabilitas diturunkan secara membabi buta dan ternyata program restrukturisasi bisa dipetik menjadi laba.
Sayangnya, karena ketatnya kompetisi dan kemampuan bank-bank yang berbeda, tidak semua bank berhasil menciptakan turn-around pada tahun lalu. Biro Riset Infobank mencatat, dari 107 bank umum, ada sekitar 40 bank yang labanya merosot bahkan 12 bank diantaranya merugi. Begitu juga dengan kemampuan bank-bank dalam meraih dana murah.
Ketika rasio biaya dana terhadap DPK secara industri hanya 1,88%, ada 43 bank yang cost of fund-nya di atas 3%. Begitu juga rasio current account dan saving account (CASA) terhadap DPK yang secara industri mencapai 59%, tapi ada 44 bank yang mencatat rasio CASA di bawah 40%. Kemampuan bank dalam merebut dana murah dipengaruhi oleh brand image, reputasi, dan sudah lama memiliki jaringan yang luas. Sedangkan terobosan yang diciptakan bank-bank digital dengan menawarkan kecepatan dan kemudahan melalui pelayanan digital belum bisa menjadi senjata ampuh untuk bisa serta merta merebut dana para penabung dari bank-bank lain.
Kendati begitu, peta pelayanan perbankan sudah berubah dan bank-bank harus adaptif dengan memiliki pelayanan berbasis digital yang cepat dan andal. Menurut Biro Riset Infobank, bukan karena faktor digital masyarakat serta merta mau menempatkan dananya pada suatu bank. Namun, masyarakat mau memilih bank yang mereka percaya dan memiliki brand yang bagus. Trust dan brand sangat dipengaruhi oleh kualitas pelayanan yang diberikan serta fundamental keuangan yang kuat. Sedangkan kualitas pelayanan tidak mungkin tercipta kalau bank tidak memiliki pelayanan berbasis digital yang andal dan aman.
Dalam survei Banking Service Excellence Monitor (BSEM) 2022 yang dilakukan oleh Marketing Research Indonesia (MRI) dengan metode mystery shopper pun memberi penilaian kualitas pelayanan prima melalui digital dengan bobotnya 57% dan walk in channel bobotnya 43%. Lalu seperti apa hasil survei pelayanan prima 2022? Bank mana terbaik dalam pelayanan prima? Simak selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 529 Mei 2022.
Jakarta - Perusahaan pembiayaan PT Home Credit Indonesia (Home Credit) terus berupaya meningkatkan inklusi keuangan… Read More
Jakarta - Hilirisasi nikel di Pulau Obi, Maluku Utara membuat ekonomi desa sekitar tumbuh dua… Read More
Jakarta - Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mendukung langkah Induk Koperasi Unit Desa (Inkud)… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk pertama kalinya menggelar kompetisi Runvestasi pada… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi tanggapan terkait penutupan Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Self-Regulatory Organization (SRO), dengan dukungan dari Otoritas… Read More