News Update

Banggar DPR Beberkan Jurus Meraih Peluang Ekonomi di 2025

Jakarta – Sejumlah lembaga internasional memproyeksi ekonomi Indonesia tetap tumbuh pada 2025. International Monetary Fund (IMF), misalnya, memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini berada di level 5,1. Bank Dunia juga dalam laporannya Indonesia Economic Prospects pada Desember 2024 memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2025 di level 5,1 persen. Sedangkan OECD pada laporannya November 2024, memperkirakan ekonomi Indonesia 2025 tumbuh 5,2 persen.

Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah mengatakan, bahwa dari seluruh proyeksi lembaga Internasional terhadap ekonomi makro pada tahun 2025 tidak berbeda jauh dengan target APBN 2025. Namun Said mengingatkan agar pemerintah tidak boleh terlena atas angka proyeksi tersebut.

“Sebab proyeksi bisa saja berubah bila dinamika ekonomi nasional dan global berubah drastic,” kata Said dikutip, Kamis, 2 Januari 2025.

Untuk itu, kata Said, penting halnya untuk mempersiapkan diri  untuk memberikan memberikan lompatan penting bagi perekonomian nasional dalam menghadapi tantangan pada 2025.

Pertama, kata Said, besar kemungkinan dunia akan dihadapkan perang tarif. Tiongkok dihadapkan perang ekonomi secara multifront, perang tarif dengan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Uni Eropa bahkan telah memberlakukan bea masuk 43 persen mobil listrik dari Tiongkok.

Tak hanya itu, lanjut Said, AS juga akan memberlakukan tarif masuk ke Meksiko dan Kanada atas barang ekspor untuk meredam imigran, dan peredaran narkotika. Jika perang tarif ini semakin menajam di 2025, menurut Said, maka Indonesia akan terkena spillover effect, bisa negatif namun juga positif. Negatifnya, ketidakpastian bisnis global makin tinggi, biaya ekspor bisa berpotensi semakin tinggi.

“Namun bila Indonesia bisa menggantikan produk produk impor yang dibutuhkan kedua negara, maka peluang ekspor Indonesia akan besar. Dengan demikian, pemerintah dan eksportir harus membaca situasi ini sebagai peluang emas ke depan,” jelasnya.

Kedua, Said menyoroti soal kondisi perekonomian Tiongkok yang menjadi mitra dagang terbesar Indonesia yang diprediksi akan mengalami penurunan. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok 2025 di kisaran 4,5 persen, perkiraan ini lebih rendah dari prediksi pertumbuhan Tiongkok di 2024 sebesar 4,8 persen.

“Jika perekonomian Tiongkok makin melambat karena produk ekspor globalnya terpukul, maka dampaknya juga akan terasa terhadap produk ekspor Indonesia ke Tiongkok. Pemerintah perlu menyiapkan mitigasi risiko atas menurunnnya perekonomian Tiongkok, semisal mencari negara lain sebagai pengganti ekspor ke Tiongkok yang menurun,” jelasnya.

Ketiga, lanjut Said, perang tarif bisa berdampak pada depresiasi USD terhadap rupiah. Belajar perang tarif Tiongkok dan AS tahun 2018 lalu, banyak pelaku pasar lebih menyalakan tombol “risk on”, artinya menggenggam USD lebih low risk ketimbang mata uang lainnya.

“Jika situasi ini terulang, maka kita harus bersiap sejak dini untuk memperkuat sistem moneter kita. Saya mengapresiasi Bank Indonesia (BI) atas upayanya menggunakan triple intervention di pasar spot, swap, dan DNDF untuk memperkuat rupiah, termasuk penggunaan underlying pembelian USD dan rencana kebijakan debt switch/reprofiling,” katanya.

Menurutnya, bisa jadi efek penguatan USD akan berlangsung lama jika perang tarif berkepanjangan. Indonesia harus memanfaatkan diplomasi perdagangan internasional untuk membuat tata perdagangan dunia lebih adil, setidaknya tidak merugikan kepentingan nasional Indonesia.

“Sedangkan di dalam negeri BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemerintah perlu mengatur lebih ketat lagi atas devisa hasil ekspor untuk kepentingan nasional,” ungkapnya.

Keempat, menurut Said, di dalam negeri, Indonesia menghadapi penurunnya kelas menengah dan konsumsi rumah tangga. Menurunnya kelas menengah akan menjadi ancaman bagi upaya Indonesia atas posisinya saat ini di upper middle income country. Sementara menurunnya daya beli akan menjadi sumbangan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dalam hal ini, pemerintah bisa mengombinasikan program makan siang bergizi gratis untuk siswa guna meningkatkan gizi anak, sekaligus menggerakan ekonomi UMKM.

“Libatkan para pelaku UMKM dalam rantai pasok makan bergizi gratis. Langkah ini akan berdampak multiplayer ekonomi, sebab sektor UMKM akan menyerap produk produk petani dan peternak. Apalagi sektor UMKM menopang tenaga kerja terbesar di Indonesia,” tegasnya.

Baca juga: Ekonomi Belum Membaik, DPR: Masyarakat Keluhkan Kenaikan Biaya Haji 2025 
Baca juga: Presiden Prabowo Tekankan Pentingnya Ekonomi Pancasila dalam Pembangunan Nasional

Kelima, data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap PDB pada 2014 sebesar 21,28 persen dan pada 2023 kontribusinya menyusut 18,67 persen atau Rp3.900 triliun dari total PDB atas harga berlaku mencapai Rp20.892 triliun. Banyak pihak menilai Indonesia mengalami deindustrialisasi.

Menjawab tantangan diatas, kata Said, peluang yang bisa ditempuh oleh pemerintah untuk membangkitkan industri manufaktur, dan mendorong kembali tumbuhnya kelas menangah hanya dengan perluasan program hilirisasi, yang saat ini masih di sektor nikel.

“Perluasan hilirisasi bisa merambah ke bahan tambang selain nikel, perkebunan, pertanian, dan kehutanan, terutama yang menjadi kebutuhan rantai pasok global,” jelasnya.

Keenam, selama 10 tahun di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membangun infrastruktur diseluruh pelosok negeri, bahkan DPR mendukung disahkannya Undang Undang Cipta Kerja untuk menyelesaikan hambatan ekonomi.

Menurut Said, seharusnya dukungan infrastruktur dan UU Ciptaker menopang turunnya angka Incremental Output Rasio (ICOR). Namun dua tahun berturut turut ICOR Indonesia tertahan di angka 6, dan tertinggi dibandingkan negara peers.

“Jika kita periksa atas tingginya ICOR, dan dikaitkan dengan laporan The Economist menunjukkan masih tingginya praktik korupsi, dan problem struktural seperti ketidakefisienan birokrasi dan perizinan,” kata Said.  

Menurut Said, Indonesia memiliki peluang menurunkan ICOR jika berhasil membereskan hambatan ekonomi, seperti korupsi, dan memberikan pesan yang jelas kepada investor dan pelaku pasar tentang arah kebijakan perekonomian lima tahun kedepan.

“Dengan ICOR yang rendah maka produk ekspor Indonesia bisa berdaya saing di pasar global, Menurunnya tingkat korupsi juga menguatkan kepercayaan kepada pemerintah,” tutup Said. (*)

Galih Pratama

Recent Posts

Dorong Agenda Pemberdayaan, Menko Muhaimin Cs Siapkan Langkah Strategis Ini

Jakarta - Menko Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar menyampaikan komitmen pemerintah dalam berbagai agenda pemberdayaan untuk… Read More

1 hour ago

Putusan MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden jadi Bahan Revisi UU Pemilu

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang diatur dalam… Read More

1 hour ago

PPN 12 Persen Hanya Bidik Barang Mewah, Ini Tanggapan Pengusaha

Jakarta – Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) bersama sejumlah asosiasi sektoral mengapresiasi kebijakan pemerintah yang menetapkan… Read More

2 hours ago

Reaksi Donald Trump usai Mike Johnson Kembali Terpilih jadi Ketua DPR AS

Jakarta - Mike Johnson, kembali terpilih menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat dalam… Read More

2 hours ago

Tjit Siat Fun: Perempuan Tangguh di Balik Transformasi Perbankan Digital

Jakarta - Di era modern, kesempatan perempuan untuk mewujudkan mimpi semakin terbuka. Tak terkecuali Tjit… Read More

3 hours ago

Buah Manis Transformasi, BYOND by BSI Catatkan 15 Juta Transaksi per 1 Januari 2025

Jakarta - Sejak diluncurkan 9 November 2024, aplikasi super apps BYOND PT Bank Syariah Indonesia… Read More

9 hours ago