Oleh Caesar Bimaprawira
AWAL 2021 cryptocurrency kembali menjadi buah bibir para investor dan spekulan di pasar keuangan. Nilai tukar bitcoin (BTC), yang merupakan cryptocurrency pertama di dunia, terhadap rupiah melonjak hingga 12.880,36% sejak pertama kali beredar di pasar. Pada November 2015, 1 BTC hanya setara dengan Rp4,43 juta. Namun, pada Januari 2021 meningkat menjadi Rp575,03 juta per BTC. Ini rekor baru BTC sepanjang sejarah peredarannya.
Peningkatan nilai BTC itu dipengaruhi oleh volume permintaan dan penawaran cryptocurrency yang meningkat akhir-akhir ini. Fenomena seperti itu biasa terjadi di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi seperti saat ini. Para investor dan spekulan berlomba untuk mengamankan aset mereka dalam bentuk instrumen yang relatif tidak terpengaruh oleh carut-marut kondisi ekonomi global.
Saat ini cryptocurrency diminati sebagai suatu “instrumen investasi” baru. Cryptocurrency dianggap dapat memberikan imbal hasil tinggi dan melindungi nilai kekayaan di masa pandemi. Tingginya minat pelaku pasar terhadap cryptocurrency itulah yang menyebabkan nilai cryptocurrency menjadi terkerek.
Namun, apa publik tahu bahwa sebenarnya cryptocurrency mengandung risiko yang sangat tinggi dan keberadaannya dapat berdampak sangat buruk bagi perekonomian dan kehidupan sosial kita? Ada empat bahaya utama spekulasi di balik prestasi cryptocurrency.
Pertama, aspek fundamental nihil. Pergerakan nilai cryptocurrency hanya dipengaruhi oleh volume permintaan dan penawaran terhadap cryptocurrency. Tidak ada cukup ekosistem di sekitar cryptocurrency yang dapat dianalisis secara fundamental dan dipelajari sebagai salah satu sarana investasi. Ketiadaan aspek fundamental tersebut menegaskan bahwa kegiatan transaksi cryptocurrency hanya dilakukan dengan motif spekulasi semata. Para spekulan akan melepaskan cryptocurrency ketika harganya tinggi. Mereka kembali membelinya ketika harga rendah. Begitu seterusnya.
Para spekulan itu hanya bergantung pada “minat” para spekulan lainnya. Apabila minat pada cryptocurrency masih tinggi dan masih terdapat ruang untuk memperoleh keuntungan dari fluktuasi nilai cryptocurrency, maka spekulan akan tetap bertransaksi dan memperdagangkan unit cryptocurrency. Namun, saat nilai cryptocurrency sudah terlalu tinggi atau stabil sehingga tidak menarik lagi untuk diperdagangkan, secara otomatis minat spekulan menurun. Pada akhirnya, spekulan akan meninggalkan cryptocurrency yang lama dan beralih ke cryptocurrency lain yang fluktuasinya masih tinggi. Sementara, cryptocurrency lama yang ditinggalkan akan mangkrak sebagai instrumen digital tak bernilai di dalam komputer pemegang unit terakhir.
Kedua, nilai ekonomi semu. Cryptocurrency tidak memiliki manfaat apa-apa jika tidak dapat dipertukarkan dengan barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan. Seseorang yang merasa telah menjadi miliarder cryptocurrency tentunya tidak bisa mengklaim dirinya sejahtera jika kekayaan cryptocurrency yang dimiliki tidak dapat mendatangkan manfaat riil baginya.
Kalau kita lihat cryptocurrency masih tampak menguntungkan dan menghasilkan uang banyak, sesungguhnya hal itu bukan karena cryptocurrency dapat dibelanjakan barang dan jasa. Itu terjadi karena masih ada spekulan lain yang mau untuk menyerahkan uang dan aset riil mereka untuk ditukarkan menjadi unit cryptocurrency.
Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, selaku otoritas moneter dan otoritas fiskal, telah menegaskan bahwa peredaran dan penggunaan cryptocurrency sebagai alat pembayaran dilarang di Indonesia. Larangan tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Selain Indonesia, terdapat beberapa negara lain yang turut melarang cryptocurrency, seperti Tiongkok, Rusia, Korea Selatan, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Pelarangan di banyak negara mempersempit ruang bagi pemiliknya untuk mendapatkan manfaat cryptocurrency tersebut.
Ketiga, risiko transaksi ilegal. Cryptocurrency dapat diciptakan oleh siapa saja di banyak tempat tanpa terdeteksi, sepanjang orang itu menggunakan prosesor penambangan cryptocurrency (mining CPU). Selain itu, peredaran dan proses transaksi cryptocurrency tidak membutuhkan perantara dan mensyaratkan deklarasi apa pun untuk memastikan maksud dan tujuan transaksi. Perlindungan kriptografi yang sangat canggih, juga melindungi pemilik unit cryptocurrency agar tidak diketahui identitasnya (anonym).
Tidak hanya itu, di dalam jejaring blockchain, juga tidak ada pihak yang melakukan pengawasan untuk menjaga agar transaksi yang terjadi tidak dilakukan untuk kegiatan melawan hukum. Hal seperti itu membuka peluang yang sangat besar terjadinya transaksi ilegal dengan menggunakan cryptocurrency. Transaksi ilegal itu antara lain pencucian uang, pendanaan terorisme, perdagangan narkoba, dan transaksi ilegal lainnya.
Keempat, potensi penyebab harga barang dan jasa tidak stabil. Para ekonom meyakini bahwa dengan makin banyaknya uang beredar akan menyebabkan terjadinya peningkatan daya beli masyarakat. Pada akhirnya mendorong kenaikan harga barang dan jasa secara agregat. Jadi, apabila masyarakat dibiarkan untuk dapat melakukan transaksi dengan menggunakan cryptocurrency yang tidak mengenal batasan wilayah dan tidak dapat dikontrol oleh otoritas moneter, daya beli masyarakat serta harga barang/jasa makin sulit dikendalikan.
Lonjakan nilai cryptocurrency yang terjadi beberapa waktu terakhir tidak akan pernah setimpal dengan besarnya risiko dan kerusakan yang ditimbulkan, baik bagi diri sendiri, perekonomian, maupun kehidupan sosial. Untuk itu, mari kita bersama-sama mencegah orang-orang sekitar kita untuk menjadi salah satu spekulan cryptocurrency.
*) Penulis adalah Senior Banking Analyst – Otoritas Jasa Keuangan. (Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis). Penulis dapat dihubungi di 08113339911.
Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi… Read More
Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, Senin, 23 Desember 2024, ditutup… Read More
Jakarta - Terdakwa Harvey Moeis dinyatakan bersalah atas tindak pidana korupsi pada penyalahgunaan izin usaha… Read More
Jakarta - PT KAI (Persero) Daop 1 Jakarta terus meningkatkan kapasitas tempat duduk untuk Kereta… Read More
Jakarta – Starbucks, franchise kedai kopi asal Amerika Serikat (AS) tengah diterpa aksi pemogokan massal… Read More
Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BRI) siap melayani kebutuhan nasabah seiring tingginya mobilitas… Read More