Industri tembakau; Pabrik tembakau. (Foto: Istimewa)
Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, kenaikan cukai tahun ini terlalu eksesif bagi industri pertembakauan. Akibatnya, justru kenaikan cukai tak berdampak positif dan bahkan malah berdampak negatif bagi Industri tembakau.
Ekonom Senior Indef, Enny Sri Hartati mengatakan, hingga saat ini kenaikan cukai malah menyakiti industri, dan dinilai gagal menurunkan prevalensi perokok. Bappenas mencatat pada 2019, diharapkan prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun sebesar 5,4%, namun yang terjadi mengalami peningkatan menjadi 9,1%.
“Dengan penerapan cukai yang eksesif malah produksi turun, namun prevalensi tetap tak berkurang,” ujarnya dalam sebuah webinar bertema ‘Intervensi Rezim Kesehatan dan Ancaman Sektor Pertembakauan’ di Jakarta, Kamis, 27 Mei 2021.
Enny juga mengungkapkan, bahwa kenaikan cukai juga merugikan negara. Pasalnya, produksi menurun namun konsumsi tetap meningkat dengan rokok ilegal kini menjadi pilihan di tengah harga rokok yang naik.
Ia menuturkan, ketika harga rokok legal naik dan daya beli masyarakat menurun, sehingga permintaan rokok ilegal malah meningkat. Artinya, menurunkan prevalensi tak tercapai, padahal persoalannya bukan terhadap rokok legal.
Menurut penelitian Indef, kerugian akibat rokok ilegal pada 2020 sebesar Rp4,38 triliun, jika diestimasikan lewat data penindakan DJBC sebesar 5%. “Itupun yang ditindak, faktanya banyak rokok ilegal yang tidak ditindak,” sambung Enny.
Di diskusi yang sama, Anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Firman Soebagyo pun meminta agar pemerintah dalam membuat peraturan terkait perundang-undangan Industri Hasil Tembakau (IHT) harus mengedepankan keadilan.
“Industri hasil tembakau ini faktanya hanyalah menjadi sapi perah oleh pemerintah dan negara, kenapa jadi sapi perah?” ucapnya.
Firman mengungkapkan, industri hasil tembakau selalu diklaim sebagai penyebab kematian terbesar menurut hasil riset yang dilakukan oleh kelompok anti tembakau, namun di sisi lainnya pemerintah juga menggunakan penerimaan cukai untuk kepentingan kesehatan.
“Bahkan didalam kebijakan peraturan menteri (Permen) nomor 7 kami melihat sama sekali tidak ada keberpihakan kepada petaninya. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka tentang Industri Hasil Tembakau (IHT) ini harus diberikan satu payung hukum perlindungan,” tuturnya.
Kebijakan cukai yang terlalu eksesif berdampak lebih negatif dan tak sesuai tujuannya untuk itu diharapkan pemerintah harus memberikan instrumen cukai yang lebih sesuai agar tak merugikan negara. “Bahwa kita ingin mengintervensi harus instrumen tepat ini saya rasa tidak tepat,” sambung Enny.
Sebagai informasi, beberapa waktu lalu Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) meminta pemerintah agar bersikap adil terhadap petani dan pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) mengingat besarnya kontribusi industri ini terhadap pendapatan negara.
Selama ini IHT telah menyumbang banyak pendapatan negara lewat cukai. Kementerian Keuangan mencatat penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) per November 2020 mencapai Rp146 triliun. (*)
Poin Penting Laba BRK Syariah kuartal III-2025 naik 3,46 persen menjadi Rp218,20 miliar didorong pembiayaan… Read More
Poin Penting BCA menyiapkan uang tunai Rp42,1 triliun untuk Nataru 2025/2026 agar transaksi nasabah tetap… Read More
Poin Penting Aliran modal asing keluar pada minggu kedua Desember 2025 nonresiden tercatat jual neto… Read More
Poin Penting Pembiayaan Multiguna iB Hijrah Bank Muamalat tumbuh 41 persen secara tahunan (YOY) hingga… Read More
Poin Penting Daniel dan Richard Tsai jadi orang terkaya Taiwan dengan kekayaan USD13,9 miliar dari… Read More
Poin Penting Bank Mega dan Metro menggelar Season of Elegance Fashion Show yang menampilkan karya… Read More