Jakarta – Selain pandemi COVID-19, volatilitas di pasar keuangan negara-negara berkembang atau emerging banyak dipengaruhi oleh situasi geopolitik global yang kini bergejolak.
Global Indonesia Professionals’ Association (GIPA), yang merupakan asosiasi untuk profesional dan eksekutif di mancanegara, mengulas topik ini bersama dengan investor legendaris kelas dunia, Dr. Mark Mobius yang merupakan Founder dari Mobius Capital Partners dan sempat menjadi Executive Chairman untuk Templeton Emerging Markets Group.
Mark yang dijuluki sebagai ‘Godfather of Emerging Markets’ oleh Reuters dan telah berhasil mengelola aset dari ASD 100 milyar hingga ASD 50 milyar selama 30 tahun sejak terjangnya di dunia investasi di lebih dari 70 negara berkembang.
GIPA menggandeng Mobius Capital Partners dan Kementerian Luar Negeri RI untuk mengadakan forum virtual, Global Connect Series, yang diadakan pada Sabtu, 20 Juni yang lalu dengan dukungan AmCham, BritCham, EuroCham Indonesia, Ekonid, ICCC, dan KoCham.
Forum ini dibuka oleh Wakil Menteri Luar Negeri RI, Mahendra Siregar dengan paparan bahwa perekonomian Indonesia cukup resilien dan diprediksikan untuk tidak masuk dalam resesi pada tahun ini.
Wamenlu Mahendra, yang dulunya pernah menjabat sebagai Kepala BKPM juga mengajak Mark dan investor global untuk menanamkan modal di Indonesia yang menjanjikan yield yang lebih tinggi dan potensi besar sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
“Seluruh perekonomian di G20 akan masuk resesi tahun ini menurut prediksi the Economist Intelligence Unit, kecuali China dan Indonesia saja dengan pertumbuhan kecil di angka positif antara 0.5%-1.0%” ujar Steven Marcelino, Chairman GIPA selaku moderator dalam forum ini.
Forum ini dihadiri oleh lebih dari 500 profesional serta eksekutif dari 110 kota yang tersebar di 30 lebih negara, juga terdapat sekitar 2.400 mengamati tayangannya 3 jam pasca acara.
“GIPA sebelumnya pernah menggandeng World Economic Forum, Bloomberg, Kemenkeu dan berbagai mitra strategis lain dalam membawa perspektif dari pemimpin dunia untuk kita di luar negeri maupun di tanah air,” ujar Hilmi Kartasasmita, Head of Indonesia GIPA yang selaku MC dalam forum ini.
Wamenlu Mahendra Siregar juga memberikan update tentang ketanggapan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan domestik untuk memproduksi masker hingga dua jenis ventilator dalam waktu tiga bulan secara end-to-end.
“Bahkan, Indonesia sekarang mulai mengekspor alat-alat medis yang berstandar internasional ini ke luar negeri,” tambah Mahendra yang sempat menjabat sebagai Dubes Indonesia untuk AS.
Terdapat peluang untuk menggunakan pandemi sebagai momentum untuk mengembangkan produksi lokal di tengah terganggunya rantai pasokan dunia.
Senada dengan Mahendra, Mark berpendapat bahwa Indonesia telah menunjukkan kekuatan yang dimiliki untuk mengubah krisis dari covid-19 untuk menjadi sebuah peluang untuk melakukan perubahan dan melangkah maju.
Mark memaparkan bahwa pandemi Covid-19 ini akan mempercepat laju perubahan tatanan global, yang sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum pandemi ini.
Tiga hal yang spesifik, pertama tatanan global akan melihat lebih banyak ‘Balkanisasi’ yang terjadi dengan melemahnya perjanjian-perjanjian multilateral, kedua Diversifikasi dari rantai pasokan global atas upaya berbagai perusahaan untuk mengalihkan produksi dari China ke negara-negara dengan labour cost yang rendah seperti di Asia tenggara dan ketiga arus teknologi yang tak terbendung mampu membuat dunia semakin global tanpa batas ruang dan waktu.
“Perubahan yang begitu cepat ini tidak akan mengakhiri tren globalisasi, malah sebaliknya,” tambah Mark yang mendapatkan gelar PhD di bidang ekonomi dari MIT pada tahun 1964.
Saat ditanya oleh Steven yang juga merupakan ASEAN Capital Market Lead di Accenture London Office tentang prediksi akan krisis keuangan di masa depan, Mark berpendapat bahwa ‘Black Swan’ ini akan berasal dari teknologi di mana akan terjadi serangan terhadap infrastruktur pasar keuangan.
Krisis yang akan terjadi dikemudian hari tidak hanya terjadi di negara maju atau berkembang, namun dengan skala global yang bahayanya tidak bisa dicerna sekarang. Menimbang ini, ada kebutuhan mendesak bagi negara-negara agar semakin beradaptasi dan bersiap sedia sebab tidak ada yang bisa lepas dari gejolak pasar berikutnya.
Dengan penuh optimisme, Mark percaya bahwa pemulihan ekonomi akan berbentuk V (V-Shaped). Meskipun terdapat volatilitas lebih tinggi, pasar berkembang sudah bangkit kembali, bahkan telah melebihi Pasar di AS atau di Eropa.
Minat investor global sendiri terhadap Indonesia saat ini dianalogikan seperti di abad 16-an di mana berbagai ekspedisi berburu ‘The Spice Islands’ karena kekayaan rempah Indonesia yang cukup langka disaat ratusan tahun silam.
Mark memberikan tips untuk Indonesia agar bisa lebih giat lagi dalam meningkatkan ‘Ease of Doing Business’ indeks Bank Dunia. Indonesia akan bisa lebih menarik arus investasi dan diversifikasi rantai pasok yang akan terus berlangsung di Asia Tenggara, di mana tren ini akan terakselerasi pasca Covid-19. (*)
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More