Oleh: Dewi Sari Pinandita
DALAM pengambilan keputusan kredit perbankan, apakah seorang bankir dapat benar-benar objektif melakukan penilaian kepada calon debiturnya? Ternyata tidak. Banyak hal yang mempengaruhi seorang bankir dalam memberikan keputusan kredit perbankan. Hal yang mengejutkan adalah ketidak-objektifan bankir tersebut ternyata dapat menimbulkan permasalahan besar di kemudian hari terutama rasio kredit bermasalah untuk portofolio individu, bank tempatnya bekerja bahkan perbankan secara nasional.
Berdasarkan data World Bank tahun 2022 menyebutkan bahwa rasio kredit bermasalah (atau sering disebut Non Performing Loan (NPL)) di Indonesia cenderung lebih tinggi dari negara-negara di ASEAN. NPL Gross Indonesia sebesar 3,91% memimpin di depan dari Filipina sebesar 3,5%, Thailand dan Brunei sebesar 3,1%, Malaysia 1,8% dan Kamboja 1,7%. Bila melihat lebih dalam pada angka NPL di Indonesia, berdasarkan data OJK 2023 menyebutkan bahwa rata-rata NPL Bank Umum Indonesia 2020 – 2023 diatas 2,5% berbeda secara signifikan dibanding NPL pada tahun 2010 – 2014 dimana rata-rata NPL dibawah 2%.
Baca juga: Mengurangi Suntikan Uang Negara di BUMN
Tingginya rasio kredit bermasalah perbankan di Indonesia salah satunya dikarenakan banyaknya keputusan kredit yang tidak akurat. Tidak akurat tersebut salah satunya karena masih ada unsur human judgement sehingga penilaian bankir menjadi tidak objektif. Mengapa hal ini bisa terjadi? Berdasarkan penelitian, pengaruh organisasi seperti tekanan target; informasi pihak ketiga mengenai calon debitur yang berasal dari supplier, buyer, perusahaan sejenis, bahkan sosial media; persepsi bankir terhadap ras, etnis dan gender tertentu; serta pengalaman buruk bankir di masa lalu dapat mempengaruhi objektifitas pengambilan keputusan kreditnya. Hal ini dapat berisiko bagi bank.
Ketidak-akuratan dalam pengambilan keputusan kredit perbankan disebabkan masih banyaknya bankir yang cenderung mengambil keputusan secara bias dalam analisis risikonya. Bias merupakan kesalahan yang sistematis dan dapat menyebabkan kecacatan perencanaan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kegagalan usaha serta potensi bank kehilangan keuntungan. Seorang bankir yang memiliki kecenderungan bias perilaku/ kognitif, menjadi tidak objektif saat membuat keputusan kredit. Bias kognitif yang dimiliki seorang bankir dapat mempengaruhi pertimbangan, pandangan, dan pola pikirnya dalam mengambil keputusan apakah suatu proposal kredit diterima atau ditolak.
Bias kognitif yang menyebabkan ke-tidak-objektif-an harus dapat diminimalisir untuk mendukung keberhasilan pemberian kredit dan memberikan kontribusi pada profitabilitas bank. Berikut merupakan poin-poin penting yang perlu diperhatikan seorang bankir dalam proses pengambilan keputusan kredit.
Garbage In – Garbage Out
Seorang bankir sebelum mengambil keputusan kredit harus memastikan keputusannya didasarkan pada informasi yang akurat dan relevan. Bankir harus bisa mencari perspektif yang beragam dari berbagai sumber informasi seperti supplier, buyer, pemain industri sejenis hingga internet dan media sosial. Selain itu, bankir harus menggunakan keterampilan berpikir kritis dan logis untuk memastikan calon debitur tersebut dapat memenuhi kewajibannya kepada Bank di masa datang.
Kesadaran Diri akan Bias Perilaku
Seorang bankir perlu memiliki pemahaman yang menyeluruh dan heuristik mengenai calon debitur dan proses berfikir pada pengambilan keputusannya untuk mengurangi bias. Dengan mengetahui faktor apa saja yang berpengaruh pada pengambilan keputusan kredit, diharapkan keputusan yang diambil tepat dan risiko dapat dikontrol.
Baca juga: Hapus Tagih Kredit “Mangkrak” Jangan Mengundang Moral Hazard yang Lain
Penetapan Regulasi dalam Proses Pengambilan Keputusan Kredit
Diperlukan aturan seperti protokol dan cara kerja yang didalamnya mempertimbangkan bias dalam pengambilan keputusan. OJK sebagai regulator dapat memberikan pedoman dan garis besar haluan proses pengambilan keputusan kredit, sedangkan Bank sebagai institusi dapat mengatur ketentuan proses internal didalamnya. Prinsip Four Eyes Principal di Bank (pemberian kredit dilakukan oleh 2 pihak yaitu Unit Bisnis dan Unit Risk) merupakan salah satu upaya yang sudah dilaksanakan. Selain itu masih terbuka ruang untuk perbaikan misalnya membuat langkah preventif dan korektif untuk proposal kredit yang rawan terjadi bias agar tidak terjadi kesalahan.
Keterlibatan Kecerdasan Buatan (AI)
Proses pengambilan keputusan kredit perbankan saat ini telah banyak dibantu oleh kecerdasan buatan, machine learning, dan analisis big data. Kolaborasi antara manusia dan AI dalam proses pengambilan keputusan kredit membantu proses menjadi lebih cepat, meningkatkan produktivitas, lebih objektif, meningkatkan akurasi serta memprediksi kesalahan. Pada segmen dan limit kredit tertentu peran manusia masih cukup besar. Hal ini karena unsur kualitatif masih belum dapat sepenuhnya diolah oleh AI. Tingginya peran manusia tersebut rentan menimbulkan kesalahan dan bias. Untuk itu, penting bagi bank untuk menentukan tipe kolaborasi manusia – AI yang paling tepat sehingga dapat mengoptimalkan objektivitas bankir dalam mengambil keputusan kredit.
*) Penulis merupakan Mahasiswa Doktoral Teknik Industri UGM, dan Assistant Vice President – Senior SME Risk Manager SME Risk Jakarta V Bank Mandiri
Jakarta - Orderkuota berkolaborasi dengan Nobu meluncurkan Madera, sebuah rekening digital serba bisa. Peluncuran Madera… Read More
Jakarta - Presiden RI Prabowo Subianto memulai lawatan kenegaraan perdana ke sejumlah negara, antara lain… Read More
Jakarta - PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) mendukung program pemerintah dalam menyediakan makanan bergizi… Read More
Jakarta – Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi berkomitmen penuh untuk mendongkrak rasio kepesertaan masyarakat… Read More
Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI mencatat penerimaan pajak hingga Oktober 2024 mencapai Rp1.517,53 triliun,… Read More
Jakarta - Presiden RI Prabowo Subianto memulai kunjungan kerja luar negeri perdananya, dengan mengunjungi sejumlah negara… Read More