Jakarta – Persoalan eksekusi objek jaminan fidusia oleh kreditur terhadap debitur yang dianggap cidera janji atau melakukan wanprestasi terus menjadi perdebatan. Pasalnya, sejauh ini masih banyak masyarakat yang masih tidak mengetahui, bahwasanya, eksekusi objek jaminan fidusia sebetulnya bisa dilakukan, tanpa perlu adanya proses peradilan.
Deputi Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan I Otoritas Jasa Keuangan, Indra mengatakan, jaminan fidusia sebagai bagian dari mitigasi risiko yang dilakukan perusahaan pembiayaan.
Sehingga pada prakteknya, perusahaan pembiayaan punya kewenangan melakukan eksekusi objek jaminan fidusia tanpa lewat pengadilan.
“Misalnya jika perusahaan pembiayaan menggunakan jasa pihak ketiga, untuk melakukan eksekusi, sitenaga penagih harus dibekali sertifikasi dan dokumen lengkap penjaminan fidusia,” kata Indra dalam webminar Infobanknews terkait “Polemik Eksekusi Jaminan Fidusia, Bisa Dieksekusi Tanpa Pengadilan?” di Jakarta, Rabu, 6 September 2021.
Hal tersebut juga diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi no 2/PUU-XIX/2021, dimana dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri, sesungguhnya hanya sebagai sebuah alternatif.
Pakar hukum, Frans Hendra Winarta pun menganggap hal demikian. Putusan MK menurutnya hanya sebuah penegasan.
Dimana, sertifikat jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Sertifikat jaminan fidusia punya kekuatan eksekutorial. Eksekusi jaminan melalui putusan pengadilan bukan suatu yang mutlak, diharuskan gitu. Dalam ketentuan ini, kekuatan eksekutorial adalah dapat dilakukan langsung tanpa proses ke pengadilan. Jadi debitur balelo itu tidak boleh sebetulnya,” jelasnya.
Sementara itu, ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), mengungkapkan, perusahaan pembiayaan sebenarnya tidak ingin eksekusi jaminan fidusia dilakukan.
Menurutnya, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghindari eksekusi jika debitur menunjukkan itikad baik untuk berdiskusi. Salah satunya adalah dengan cara restrukturisasi kredit dan diskusi antar debitur kreditur sehingga, tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak.
“Jika debitur dan unitnya ada, lebih kepada bagaimana kita melakukan restru dan diskusi. Intinya perusahaan pembiayaan tidak ingin kendaraan dieksekusi. Kita kasih uang inginnya kembali uang. Kita ingin ada kesepakatan, ayo kalo susah kita bantu,” jelas Suwandi Wiratno.
Suwandi mengakui, banyak debitur yang terdampak oleh pandemi Covid-19 sehingga kesulitan membayar cicilan kendaraan. Meskipun demikian, restrukturisasi kredit bisa membantu debitur untuk pulih sehingga bisa kembali membayar dengan lancar.
“Selama pandemi, 5,2 juta debitur sudah kami bantu dengan nilai Rp200 triliun. Jumlah ini tidak kecil, mencapai 50% dari outstanding kami, tetapi tetap dibantu dan benar, 70% nya sudah kembali membayar normal,” jelasnya.
Namun pada kenyataannya tidak sedikit debitur nakal yang membuat unit berpindah tangan. Kejadian ini juga kerap ditemui. Bahkan ada juga yang debiturnya tidak ada atau menghilang, unitnya pun menghilang. Hal ini sudah menyalahi aturan.
“Ada yang unitnya bisa sampai ke pihak lain orang hingga orang ke empat,” jelasnya. (*)
Jakarta - Pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9.00 WIB (18/11) Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - Harga emas Antam atau bersertifikat PT Aneka Tambang hari ini, Senin, 18 November… Read More
Jakarta - MNC Sekuritas melihat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More
Jakarta - PT PLN (Persero) menyatakan kesiapan untuk mendukung target pemerintah menambah kapasitas pembangkit energi… Read More
Jakarta - Additiv, perusahaan penyedia solusi keuangan digital, mengumumkan kemitraan strategis dengan PT Syailendra Capital, salah… Read More
Jakarta – Super App terbaru dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), yaitu BYOND by… Read More